Sanksi Barat pada Rusia, sebagai akibat invasinya ke Ukraina, Â memaksa perusahaan-perusahaan minyak menghentikan operasi di Rusia. Joe Biden juga melarang perusahaan-perusahaan AS mengimpor minyak dari Rusia.Â
Pasar global menangkap resiko kurang pasokan minyak beberapa bulan ke depan. Dampaknya adalah kenaikan harga minyak. Basket Price (harga paket) minyak OPEC memanjat tinggi. Tanggal 25 Februari masih  $ 96,7 (25 /2/2022. Tanggal 8 Maret 2022 sudah bertengger di  $ 127,93 (8/3/2022).
Kalau perang tidak berhenti, harga minyak akan terus melonjak. Demikian juga harga gas alam. Harga dua jenis energi ini sangat sensitif terhadap gangguan pasokan. Negara pengimpor minyak, seperti Indonesia adalah yang paling terkena dampaknya. Â Harga BBM mungkin harus dinaikkan di bulan mendatang. Keributan politik lalu akan menyusulnya.
Sudah saatnya Indonesia menimbun minyak ketika harga murah. Bukan minyak goreng tetapi minyak bumi. Â Istilah kerennya Strategic Petroleum Reserve (SPR) atau cadangan minyak srategis. Â Minyak yang sengaja ditimbun untuk mengantisipasi krisis.
Fungsi  SPR
Secara sederhana, SPR adalah sejumlah minyak yang disimpan sebuah negara. Minyak bisa disimpan dalam tanah, atau di dalam tangki. Idealnya tangki-tangki itu ditanam dalam tanah dan tersebar di beberapa wilayah. Kalau perang, tangki-tangki itu tidak mudah diledakkan musuh
Minyak simpanan berfungsi dua. Pertama, menjaga ekonomi tetap berputar saat terjadi krisis energi global. Kedua, menjaga mesin perang bisa beroperasi saat keamanan nasional terancam oleh serangan militer. Katanya, kalau perang cadangan minyak itu minimal bisa bertahan tiga bulan. Untuk menimbun minyak bumi, pemerintah bisa bekerja sama dengan perusahaan swasta.
AS bikin SPR sejak krisis minyak tahun 1974. Tindakan itu dilakukan untuk merespon embargo OPEC. Tangki-tangki bawah tanah berada di negara bagian Lousiana dan Texas. Pada tahun 2020, AS memiliki cadangan minyak mentah sebesar 650 juta barel (www.iea.org)
Model AS lalu ditiru oleh International Energy Agency (IEA). Organisasi ini mewajibkan anggotanya membangun cadangan minyak. Saat terjadi krisis pasokan, negara-negara anggota akan melepas sejumlah minyak dari cadangan ke pasar. Harga minyak akan relatif stabil karena pasokan yang cukup.
Nuklir mencegah lawan untuk  menyerang duluan. SPR mencegah  produsen  dan pedagang  menaikkan harga minyak saat terjadi krisis. Misalnya, pada 1 Maret 2022, Presiden Biden memerintahkan pelepasan 30 juta barel minyak mentah ke pasar. Tindakan dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan harga tajam minyak akibat invasi Rusia. 30 negara anggota IEA juga melepas tambahan 30 juta barel minyak.
Mengapa harus  menimbun minyak.
Indonesia perlu 'menimbun' minyak dalam bentuk  cadangan minyak strategis. UU No. 30/2007 tentang energi menyebut cadangan strategis sebagai "cadangan energi untuk masa depan". Dengan demikian, UU ini tidak menunjuk secara khusus pada cadangan minyak.
Kementerian ESDM sedang merencanakan membangun SPR sebesar 45 juta barrel. Jumlah ini dapat dipakai untuk 30 hari konsumsi saat terjadi krisis atau perang. Untuk tujuan itu, upaya kerjasama impor sedang dilakukan dengan negara-negara penghasil minyak.
Fasilitas penyimpanan dapat disebar ke beberapa tempat. Salah satunya dengan menambah penampungan pada 9 kilang yang sudah ada. Pembelian minyak dapat dilakukan saat harga sedang rendah sehingga tidak memboroskan APBN. Selain itu, eskpor minyak mentah mungkin perlu dihentikan agar bisa dijadikan sebagai cadangan. Ini memang kebijakan yang sulit, karena ekspor minyak adalah salah satu sumber pendapatan negara.
Indonesia perlu cadangan strategis karena beberapa alasan. Â Pertama, angka produksi minyak dalam negeri terus menurun. SKK Migas melaporkan tahun 2021, lifting minyak mentah hanya mencapai 600 ribu barel per hari. Pada saat yang sama, produksi kilang dalam negeri hanya sekitar 800 ribu barrel/hari. Konsumsi BBM telah mencapai 1,4 juta Kl/per hari. Impor jadi jawaban atas kesenjangan pasokan dan permintaan.
Dalam jangka panjang harga minyak terus naik karena pertambahan permintaan global, sumber minyak makin sulit, biaya eksploitasi dan produksi makin mahal. Negara pengimpor seperti Indonesia harus mengantisipasi kenaikan harga minyak dalam jangka panjang. Jika tidak, makin banyak uang diboroskan untuk subsidi karena impor semakin mahal.
Kedua, guncangan harga minyak akan terus berulang karena kutukan geo-politik. Mayoritas penghasil minyak berada di kawasan yang sering konflik seperti Eropa Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara. Kawasan ini tidak pernah stabil. Pada Maret 2011, saat konflik Libya meletus, harga minyak jenis Brent melonjak dari $ 2,40/barrel menjadi $ 118/barel. Brent adalah minyak mentah dari Laut Utara.
Ketiga, kebangkitan nasionalisme sumber daya dan fenomena 'oil weapon'. Di tengah liberalisasi pasar migas, ada negara menerapkan nasionalisme sumber daya migas. Cirinya adalah penguasaan penuh negara atas produksi dan distribusi migas. Negara-negara ini kerap menggunakan migas sebagai senjata politik.
Rusia di bawah Putin menggunakan embargo gas untuk menekan Eropa agar tidak mencampuri invasinya ke Crimea tahun 2014. Venezuela di bawa Hugo Chavez menggunakan minyak sebagai senjata melawan AS. Â Tindakan mereka ikut menambah volatilitas harga migas di pasar internasional.
Keempat, akses langsung oleh importir utama. Negara seperti Cina membangun cadangan migas dengan dua cara. Pertama membeli dari pasar internasional. Kedua menguasai langsung sumber migas di negara asal. Biasanya dengan menggunakan perusahaan negara.
Minyak dari lapangan yang dikuasai tidak dijual di pasar internasional. Barang penting ini langsung dikirim ke negara tujuan. Cina menerapkan upaya kedua ini di Afrika. Akses langsung  mengganggu perputaran bebas komoditas migas di pasar, yang membahayakan negara-negara importir lain.
Kelima, Asia adalah wilayah dengan potensi konflik tinggi. Pertama adalah kemungkinan konflik di Asia Timur antara Korea Utara dan Korea  Selatan. Jika pecah konflik, Jepang, AS dan Cina akan terlibat di dalamnya. Kedua, kemungkinan konflik di Laut Cina Selatan (LCS) yang melibatkan Cina, 5 negara ASEAN, AS dan sekutunya. Perang di dua kawasan ini akan mengganggu jalur suplai, meningkatkan resiko, naiknya biaya asuransi dan harga minyak yang dipasok dari luar.
Untuk menghadapi konflik di LCS, mesin perang Indonesia membutuhkan bahan bakar agar bisa beroperasi dalam waktu lama. Pesawat tempur dan kapal perang harus dikerahkan dengan suplai bahan bakar yang stabil dan memadai. Tanpa minyak, Rafale, F-16, Â F-15, Apache, frigat, kapal selam tidak akan berfungsi efektif melindungi wilayah dan rakyat Indonesia.
Â
Penutup
Biaya pembangunan SPR memang tidak murah dari segi keuangan. Fungsinya yang penting untuk menjamin keamanan energy dan ketahanan nasional, membuat biaya mahal menjadi relatif. Dunia makin tidak aman.Â
Kelompok-kelompok teroris mulai menjadi infrastruktur migas sebagai target serangan. Perkembangan ini makin menambah ketidakpastian pasar minyak global. Seraya mendorong  energi terbarukan, cadangan strategis harus dibangun, meski secara bertahap. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H