Doktrin uniformitas perdamaian ini didukung oleh keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Pembubaran Uni Soviet dianggap sebagai kemenangan kapitalisme barat atas sosialisme. Francis Fukuyama bahkan menggambarkannya sebagai 'the end of history'.
Bagi Fukuyama, sejarah dunia digerakkan oleh pertarungan ideologi, yakni antara kapitalisme melawan sosialisme. Kompetisi antar blok ideology menghasilkan aliansi, kerjasama, konflik dan berbagai dinamika sejarah dunia. Kebangkrutan komunisme menandai berakhirnya pertarungan itu. Kapitalisme pasar dan demokrasi liberal menjadi model tunggal yang harus dituju oleh masyarakat dunia.
Imperium AS dan ekspor demokrasi
Perdamaian dunia mensyaratkan demokrasi liberal keluar dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Ekspor demokrasi menjadi salah satu jalan untuk membangun imperium liberal sebagai syarat bagi perdamaian dunia. Untuk itu, dibutuhkan sebuah kekuatan hegemonic, sebuah imperium, untuk mendorong ekspor demokrasi ke berbagai belahan bumi.
Peran ini dimainkan oleh AS sejak tahun 1990-an. Retorika Bush Jr sebelum penyerbuan ke Afghanistan adalah 'defending the free world'. Langkah berikutnya adalah mengekspor 'free' world ke dunia yang oleh AS dianggap tidak 'free'. Dunia itu adalah Irak, Afghanistan dan Eropa Timur. Di Afghanistan dan Irak, AS berupaya keras menabur bibit demokrasi dalam masyarakat patriarki dan otokratif. Dan AS gagal.
Masuknya demokrasi liberal di Eropa Timur menjadi semacam 'imperialisme' bentuk baru. Penyebaran demokrasi menjadi jalan perluasan imperium AS, dan Barat umumnya. Perluasan NATO harus dilihat dalam kerangka ini. NATO adalah sayap militer perluasan pengaruh hegemonic dunia barat di mana AS menjadi kampiumnya.
Demokratisasi politik tidak bisa berjalan tanpa ekonomi pasar. Hanya dalam pasar, pusat-pusat kekuatan ekonomi tesebar di banyak aktor yang saling bersaing. Kompetisi antar berbagai perusahaan menciptakan keseimbangan dinamika pasar. Karena itu, liberalisasi pasar adalah syarat bagi demokrasi liberal yang sehat. Di Eropa Timur dan belahan bumi lain, ekspor demokrasi liberal oleh AS Â beriringan dengan ekspor demokrasi pasar.
Ekspor 'duo liberal' ini dapat dilihat dalam kasus Indonesia pasca 1998. Setelah pemilu 1999, liberalisasi ekonomi berskala besar dilakukan. Keran investasi asing dibuka, tariff impor diturunkan, swastanisasi perusahaan negara digencarkan. Â Tahun 2001, misalnya, sector migas yang dikontrol ketat oleh negara selama Orde Baru, dibuka untuk swasta. Swastanisasi memindahkan sumber daya ekonomi yang terpusat pada negara ke banyak actor. Pluralitas actor ekonomi pasar adalah syarat bagi demokrasi liberal.
Di Eropa Timur, Â keruntuhan Uni Soviet menjadi 'jendela' bagi impor bagi demokrasi dan pasar liberal. Sayangnya, AS dan Barat terlalu sibuk dengan reformasi ekonomi dan perluasan NATO. Ekonomi pasar justru memberi keuntungan bagi Barat. Â
Sampai dengan tahun 1919/1920, di antara 10 besar asal FDI dI Rusia, 8 adalah negara Eropa Barat (https://www.investmentmonitor.ai). Jerman berada di urutan satu dan AS nomor dua. Fakta ini menjelaskan mengapa Putin berani perang dengan Ukraina. Dalam pikiriannya, Barat tidak akan menjatuhkan sanksi keras karena besarnya investasi perusahaan Barat di Rusia.
Fokus ke ekonomi mengabaikan penguatan lembaga dan kultur demokratis. Di Rusia, transisi ekonomi berjalan dalam kultur oligarkhi dan politik otoritarian. Dengan kata lain, ekspansi liberalisme terjadi dalam region illiberal dari segi struktur sosial ekonomi dan kultur politik. Hasilnya adalah munculnya oligarki nasional yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik sekaligus. Kapitalisme yang tumbuh adalah  kapitalisme kroni. Sekelompok oligarki sangat kaya, yang lain tetap miskin.