Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

"Ini Budi", Integrasi Nasional dan Urbanisasi

27 Desember 2021   13:55 Diperbarui: 7 Januari 2022   15:00 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu saya dan beberapa teman mengunjungi BALAI PUSTAKA dan menemukan buku legend INI BUDI. ini adalah buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak sekolah dasar. 

Ingatan pun pulang jauh ke tahun 1975, saat kelas 2 SD atau 1976- saat kelas 3 SD, saya lupa. Buku-buku pelajaran lokal terbitan NUSA INDAH-Ende tiba-tiba menghilang. Lalu muncul Budi Pung Ibu, Budi pung bapa, Budi Pung kaka dan Budi pung adik.

Buku sederhana tetapi sangat mendalam pengaruhnya. Buku ini menciptakan imajinasi kami tentang siapa Budi. Karena setiap hari, hanya ada Meo, Bhoki, Watu, Kaju, Tena yang kemudian disambung dengan nama Eropa seperti Fransiskus, Nikolaus dll.

Semua yang ada dalam Budi, juga soal 'Budi ke sekolah naik becak', kereta api, bus kota atau mobil. Juga tentang Budi pung ikan mujair, tawes dan nila. Kita orang juga tak kenal Tawes, Nila atau Mujair. 

Tiap hari kami makan tuna, tongkol, kakap, kembung atau ekor kuning. Kadang-kadang sambil guyon, teman-teman menunjuk telur, lalu bilang 'Ini Budi pung Telor".

Sedangkan mahkluk bernama Kereta api hanya kami lihat saat ada layar tancap dinas penerangan di lapangan desa. Filem-filem ini memamerkan kemajuan pembangunan. 

Suatu cara mendorong modernitas dengan menciptakan efek pamer melalui media. Para perencana pembangunan saat itu sangat dipengaruhi oleh teori diffusi Inovasi Rogers. 

Inovasi dan kemajuan bisa disebarkan melalui tiga jenjang, dan media menjadi bagian penting dari itu. Tapi yang kami tunggu filem layar lebar beken zaman itu. 'Si Pitung, "Si Buta dari Gua Hantu', 'Jaka Sembung', semua juga teman-teman Budi juga.

Di sela-sela filem itu, petugas juga bilang Bapa-mama harus pakai kondom. Maklum saat itu program KB jadi prioritas Orba. Sebagai anak-anak saya pikir kondom itu sejenis 'isbombon' (manisan). Padahal sejenis balon dengan fungsi khusus.

Buku 'Ini Budi' adalah sebuah proyek integrasi nasional Orde Baru. Pengalaman pemberontakan daerah selama Orde Lama, seperti RMS, PRRI dan Kahar Muzakar, nampaknya menimbulkan trauma terhadap disintegrasi nasional. Trauma yang diwarisi sampai saat ini. Kontrol melalui sentralisasi kekuasaan dilakukan dengan UU Desa tahun 1974 dan UU Sentralistik lain.

Tahap berikutnya adalah sentralisasi cara pikir. Teritori telah dikuasai, tahap berikutnya pikiran harus dikuasai. Dengan menyeragamkan kurikulum dan bahasa, negara Orba 'mengoloni' pikiran kami anak-anak bahwa Indonesia ya 'Ini Budi', bukan 'Ini Rato' atau "Ini Arnold". 

Teknik pengawasan yang sangat efektif. Sebuah mode kekuasaan yang agak mirip dengan pemerintahlitiy (maaf ini terjamahan ngawur dari Govermentality, Michel Foucault). 

Memerintah bukan dengan menggunakan kekuasan dan hukum, tetapi cara-cara positif. Strategi kekuasaan ditujukan untuk persetujuan aktif dari mereka yang diperintah.

 Caranya dengan mengembangkan sebuah cara berpikir yang diterima sebagai 'normal' oleh mereka yang diperintah.  Kurikulum dan Bahasa adalah instrumen yang efektif dalam proses ini dan karena itu harus seragam.

Di sekolah, 'Ini Budi' menjadikan anak-anak menguasai Bahasa Indonesia, tetapi kami kehilangan banyak kata Bahasa Ibu. Saat itu, ada kesan Bahasa Indonesia itu modern dan Bahasa Ibu itu tidak modern, kalau tak mau disebut kolot. Di sekolah, ada semacam kartu yang diberikan ke satau murid, lalu murid itu memberikan ke teman lain yang menggunakan Bahasa Daerah, dstnya.

Di akhir jam sekolah, guru mencek kartu ada pada siapa, lalau ditelusuri ia terima dari murid mana, sampai ke murid awal yang menerima kartu. 

Yang pernah menerima kartu, pasti bicara bahasa daerah dan kena hukuman. Hukuman untuk meninggalkan yang 'kolot' dan merangkul modernitas. Kartu ini menculik bahasa Ibu dari lidah kami. Meski membuat kami mahir merayu dalam bahasa Indonesia.

Budi datang dari center (pusat) yakni Jawa, Jakarta ke Periferi (pinggiran), Malapedho, Ngada dan daerah Timur lain. Pusat itu developed (maju), karena itu Budi naik kereta api. 

Pinggiran itu 'underdevelop', karena tidak ada Budi yang 'developed' di sana. Yang ada Kaju, watu, Rato ke sekolah nunggang kuda atau jalan kaki tanpa sepatu. Sandal jepit pun saat itu susah. Kadang-kadang nunggang kuda, celana taruh di kepala, supaya tidak sobek.

Budi yang datang dalam bentuk buku lalu membentuk gambaran tentang yang maju, yang modern. 

Beberapa tahun kemudian, sangat mungkin 'Budi' yang mendorong ribuan anak muda menyeberang dari NTT, Sulawesi, Maluku ke surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan kota lain. Mereka ingin bertemu dengan 'Budi" (kemajuan).

Saat tiba di Yogya salah seorang pemuda itu memang akhirnya bertemu dengan saudaranya Budi, yakni Wati. Satunya Erna Wati dan yang lain Erna Kurniawati. Yang pertama Ibu guru dan yang kedua Ibu Dosen.

'Budi' mungkin sangat berperan mendorong fenomena urbanisasi, migrasi intersuler di mana anak-anak muda cerdas dan produktif meninggalkan pinggiran ke 'pusat' yakni kota-kota besar. 

Pada saat bersamaan, Menpen Harmoko, sebagai Jubir daripada Bapak Pembangunan kotbah terus agar orang jangan ke kota. Kampanye yang gagal mencegah migrasi desa-kota.

Jadi Jangan main-main dengan 'Ibu Budi', dengan buku maksudnya. Bapak Budi dan Budi pung IBu, perlu cek rak buku yang anak-anak baca. Siapa tahu ada yang berdampak kuat pada 'Budi'. Seperti cara merias ala Black Pink.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun