Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kita Siap Vaksin: Tanda Bintang di Pangkal Lengan

24 Januari 2021   10:11 Diperbarui: 24 Januari 2021   10:42 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Vaksin? Saya ingat suatu pagi di tahun 1975. Kami disuruh turun dari sebuah SD kaki gunung Inerie, di Ngada, pesisir selatan Flores, ke klinik darurat di pantai. Letaknya kira-kiran 3,5 Km.

Hari itu Sabtu, ada tim kesehatan dari kota Kabupaten datang. Kunjungan disesuaikan dengan hari pasar, Sabtu. Sebagai anak kelas 2 SD,  kami diberitahu akan divaksin. Tanpa surat persetujuan orang tua. Tidak tahu vaksin itu apa dan untuk apa? Yang pasti kami senang ke pantai karena lautnya. Mandi bareng di laut itu pengalaman menyenangkan.

Tiba di pasar, seorang mantri kesehatan meminta kami maju satu-satu, lalu lengan kami disuntik. Seperti disengat semut lalu hilang. Selasai vaksin, semua anak laki-laki buka celana lalu terjun ke laut. Tidak lagi ingat 'gigitan' jarum suntik tadi. Tidak ingat juga pusaka kami bergelantungan. Siapa peduli pusaka melihat biru laut Sawu.  

Saya ingat kami harus mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian saya tahu bahwa itu vaksin cacar, mungkin juga ditambah difteri dan polio. Bekasnya masih ada di pangkal lengan kiri dan kanan. Semacam tanda bintang, menang perang perang melawan cacar.

Silang pendapat soal vaksin sekarang harus dihadapkan pada satu realitas: vaksin telah menyelamatkan spesies  manusia. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Tanpa vaksin, para leluhur kita tidak akan selamat dari difteri, polio, cacar, flu spanyol dan pandemik lain. Mereka tidak ada, kita juga tidak lahir  untuk baku tengkar soal vaksin.

Vaksin adalah strategi perang  'alami' menghadapi musuh 'alami' yakni pandemi. Meminjam kata-kata ahli perang Tiongkok, Sun Tzu, vaksin adalah upaya 'borrowing the corpse to save the soul',. Meminjam 'jenazah untuk menyelamatkan jiwa'.

Sekarang kita bisa ganti "borrowing Sinovac to save Indonesia". Yang kita pinjam dua. 1. Uang. 2. Untuk bayar pinjaman lain, yakni 'tubuh virus' yang sedang dilemahkan, untuk menyelamatkan pemuda, anak-anak, bakal anak, cucu dan bakal cucu  yang bisa lahir karena ada generasi yang kebal terhadap pandemi ini. Saya sebut cucu bukan karena sulung saya sudah 21 tahun, usia kawin. Di bawah itu namanya izin kawin. Bukan! Tapi demi keselamatan human enterprise, biar keren begitu.

Efek samping, pasti ada? Paling ringan badan panas. Efek lain bisa diminimalkan dengan memahami cara kerja.  Jangan sampai terjadi, pagi vaksin, soreh anda rangkul-rangku lepas masker. Ya kena corona dan mati kalau begitu. Vaksin, jaga jarak, tetap cuci tangan, hindari kerumunan. 

Sampai kapan? Mungkin 2 atau tiga tahun setelah jadi spesies kita  kebal, pandemi ini kalah tanpa mewariskan 'tanda jasa' jelek seperti di pangkal lengan generasi kami. Ini perang Om, Tante, harus ada usaha bersama. Kerennya harus ada spirit korps dan coordinative action. Saya vaksin, situ tidak mau, lalu bijimana kita bisa menang perang?.

Ketegangan dan silang pendapat soal vaksin saat ini berakar dari tiga hal: Pertama,  ketegangan antara kebebasan individu untuk memilih jenis penyembuhan lain dan kepentingan kesehatan masyarakat. 

Pada aspek pertama menyangkut pertanyaan lama yang pernah muncul ketika program KB. Di bawah orde baru KB 'dipaksakan' sehingga kemudian orang bertanya tubuh ini milik siapa. Tubuh ini bukan teritori negara, kenapa negara mau mengontrol tubuhku. Orde baru bilang KB harus demi kesejahteraan publik melalui kontrol populasi. Jadi tubuh pribadi juga public.

Apakah negara berhak memaksakan suntikan vaksin ke tubuh  individu yang menolak? Ada prinsip umum tentang res publicum (masalah public) yakni 'kebahagiaan terbesar dari sejumlah besar'. Kebebasan individu itu 'mulai di suatu titik dan berhenti di suatu titik'. Titiknya adalah keselamatan public. Jika prinsip ini terpenuhi maka negara berhak melakukan 'pemaksaan' pada individu. Corona jelas ancaman pada keselamatan kesehatan umum. Daya tampung rumah sakit sudah mendekati batas.

Yang kita hadapi adalah ancaman keamanan yang bersifat eksistensial, karena jika tidak ditangani segera akan menghancurkan esksitensi kita sebagai manusia, sebagai bangsa. Dalam menghadapi ancaman eksistensial, yang harus ditempuh tindakan ekstraordinari, bukan ordinari. Tindakan ini dicirikan prosedur cepat, skala luas, alokasi khusus, terkoordinasi, meski harus melanggar kebebasan individu. Dalam hal ini kebebasan untuk menolak vaksin.

Kedua, ketegangan antara kepercayaan agama dan manfaat penggunaan vaksin. Ini ketegangan paling keras karena menyangkut keyakinan soal 'berdosa' atau tidak 'berdosa' menggunakan vaksin. Perdebatan muncul juga karena kecurigaan bahwa vaksin dikembangkan dengan menggunakan bahan-bahan yang dipandang haram. Karena urusan vaksin diangkat pada level soal surga dan neraka, intervensi negara akan dianggap melanggar hukum Tuhan. 

Bagi sebagian orang, menggunakan vaksin, melanggar hukum Tuhan dan peluang masuk surga menipis. Karena itu, dibutuhkan proses pendekatan sosial dan keagamaan yang berbeda. Pemerintah bisa melibatkan tokoh-tokoh agama untuk melakukan edukasi manfaat vaksin. Edukasi bahwa tidak menjangkiti orang lain adalah bagian dari pelaksanaan perintah Tuhan. Perintah untuk melindungi kehidupan.

Ketiga, kecurigaan yang tidak masuk akal karena disinformasi. Ini era post-truth, apa yang dipercaya orang bukan apa yang telah diverifikasi secara empiris. Yang benar adalah yang terus-menerus dimasukkan ke dalam kesadaran anda. Kebenaran adalah kebohongan yang diulang-ulang. 

Sejauh pengamatan saya, sosialisasi tentang vaksin oleh otoritas pemerintah agak kalah dengan informasi yang berasal entah dari mana. Informasi kedua ini sering menggunakan strategi denialisme, berargumen menolak vaksin dengan menggunakan pseudo sains (ilmu semu). Misalnya ini bersumber dari penelitian ilmuwan atau lembaga A, B dan C, tapi ketika ditelusuri namaIlmuwan itu benar, tapi tidak ada penelitiannya tentang vaksin.

Untuk mengatasi disinformasi, kampanye publik harus dilakukan BNPP. Jaringan institusi resmi bisa menjangkau sampai tingkat RT. Jangan mengabaikan kekuatan arisan Ibu-Ibu RT sebagai saluran infromasi. 

Bagi saya komunikasi publik soal vaksin ini agak kacau, seperti komunikasi soal wabah di awal Januari. Saat itu pemerintah gagal mendidik masyarakat soal bahaya wabah karena pemerintah sendiri gagal dalam penilaian terhadap keseriusan ancaman, saat corona muncul pertama kali di Wuhan.

Penerimaan informasi yang benar akan membantu masyarakat mendukung upaya vaksinasi. Saya percaya orang Indonesia itu masih waras dan peduli pada keselamatan orang lain. Yang penting, diajak 'ngomong, dan 'ngemong'. 

Negara tidak sendirian, anak-anak muda siap membantu negara, apalagi sekarang ratusan ribu mahasiswa universitas melakukan KKN On-line. Potensi yang sangat besar untuk kampanye vaksin. Akhirnya, Pak Presiden saya mendukung inisiatif pemerintah untuk vaksinasi. akan ada satu tambahan tanda bintang di pangkal lengan, tetapi urutan saya masih lama ya Pak. Saya menunggu vaksin di tikungan, karena dulu mantan saya ditikung di tikungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun