Kedua, beroperasinya shadow  state (baca: pemerintah bayangan). Gubernur dan Bupati boleh saja perempuan, tetapi ia bertindak dan dikendalikan oleh satu jaringan oligarkhi. Orang-orang yang berkuasa dan menentukan kebijakan daerah tetapi tidak terlihat secara formal. Jaringan ini bisa keluarga, kelompok bisnis kuat, tokoh atau gabungan dari semua itu. Yang berkuasa adalah Ibu Suranti, Bupati perempuan kabupaten A, tetapi yang memerintah adalah suami Ibu Suranti, Pak Suranto dan teman-temannya. Merekalah yang menentukan siapa yang mendapat apa. Mereka menentung program mana yang dijalankan dan mana tidak. Kebijakan Ibu Suranti nampak sensitif jender. Misalnya pemberdayaan perempuan, tetapi program-program real jatuh hanya ke kelompok-kelompok 'dekat' Bupati.
Ketiga, ketiadaan mitra di tingkat lokal. Pemimpin perempuan mungkin beranjak dari etika kepedulian, tetapi ia tidak bisa bertindak sendirian. Adanya masyarakat sipil yang aktif dan kuat di tingkat lokal akan membantu membuka ruang bagi akomodasi politik kepedulian. Karena itu, media, kaukus perempuan dalam parlemen lokal, aktivis jender individu dan berbasis organisasi agama atau ormas, harus bekerja bersama mengintroduksi agenda-agenda public yang sensitive jender. Lewat Kerjasama ini, aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan kelompok marjinal dapat diintroduksi dalam kebijakan di tingkat lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H