Pemimpin perempuan dan Kebijakan Yang peduli
Apa itu kebijakan yang peduli? Sebuah video yang beredar di medsos mungkin saja mewakili apa yang disebut kebijakan yang peduli. Video itu merekam Wali Kota Surabaya, Ibu Risma memarahi petugas di sebuah kantor pelayanan publik. Nampaknya berkaitan dengan pengurusan KTP yang berbelit-belit. Urusan yang nampak sepele, bagi sebagian birokrat, yang dalam video itu mayoritas laki-laki, Â tetapi penting bagi warga kebanyakan.
Bagi warga kecil, KTP itu 'kunci ajaib', sebelum kartu-kartu lain. Tanpa KTP warga miskin tidak bisa mengakses  BOS, kartu pintar, BLT (bantuan langsung telas), KMS, Jampersal dan kartu-kartu lain. Tentu bukan kartu remi.
Tanpa KTP, orang miskin 'dilarang' sakit karena tidak bisa dapat bantuan kesehatan. Saat mengurus bantuan kesehatan untuk seorang keluarga dekat yang depresi bulan lalu, saya ditanyai mana KTP. Orang gila diminta KTP, betapa saktinya KTP. Tanpa KTP Surabaya, anda adalah 'orang asing' dalam rezim pelayanan publik Surabaya.Â
Demikian juga di tempat lain. Karena itu, akses ke KTP harusnya dipermudah. Bisa dipahami Bu Risma marah karena benda kecil ini punya pegaruh besar. Bagaimana kalau yang butuh KTP itu wanita hamil. Ia harus bolik-balik 3-4 kali untuk mengurusnya. Laki-laki tak pernah hamil.
Sebuah kasus lain adalah perubahan jam pelayanan  puskesmas. Kasus ini terjadi  di sebuah kecamatan dekat pantai di Kota Kendari. Ceriteranya saya dapatkan saat mengevaluasi proyek Bappenas tahun 2006. Di kecamatan tersebut, mayoritas pelanggan adalah nelayan. Pulang dari melaut rata-rata di atas jam 9 pagi.
Kaum perempuan pagi ke Pantai untuk menjemput ikan dan membantu suami. Padahal, kaum perempuan dan anak-anak yang paling membutuhkan pelayan kesehatan. Pak Camat dan Dokter pimpinan puskesmas lalu mengajukan perubahan jam pelayanan dari jam 08.00- soreh, ke Jam 12.00 sampai malam. Usulan ini disetujui Dinas Kesehatan Kabupaten. Dua kasus kecil di atas mungkin sederhana, tetapi keduanya menggabarkan  etika kepedulian diterapkan dalam kebijakan.
Jebakan Yang Dihadapi.
Kembali ke pertanyaan kita di awal tulisan ini, apakah Bupati atau Gubernur perempuan dapat merumuskan kebijakan yang lebih peduli pada kepentingan banyak orang? Jawabannya bisa ya atau tidak. Politik adalah arena negosiasi yang kompleks, dari segi aktor, kepentingan dan institusi. Institusi di sini berupa lembaga, UU yang formal atau aturan non-formal seperti norma sosial, budaya dan kebiasaan.
Pemimpin perempuan bertindak dan mengambil kebijakan dalam arena kompleks ini. Ia bertarung, berunding dan mengambil kebijakan berhadapan dengan kepentingan yang saling bersaing. Sangat besar kemungkinan, kebijakan-kebijakan yang diambil justru tidak memihak kepentingan banyak orang. Bahkan  kepentingan perempuan tidak cukup mendapat banyak perhatian.
Berbagai sebab dapat menghambat perumusan kebijakan yang lebih 'perempuan', yakni lebih didasarkan pada etika kepedulian. Etika yang merangkul dan bukan menyingkirkan. Pertama, politik elektoral yang sangat keras kompetisinya, menyebabkan politik 'keadilan' lebih dominan dalam perumusan kebijakan daerah. Jangan membayangkan keadilan di sini sebagai keadilan untuk semua, tetapi keadilan untuk yang berjasa. Berjasa pada kemenangan. Akar politik balas jasa adalah sistem elektoral yang berbiaya tinggi yang menjebak pada kandidat, termasuk kandidat perempuan.