Pilkada serentak 2020 sudah dilakukan. Di berbagai daerah rekapitulasi suara sedang dilakukan dan akan berakhir 26 Desember 2020. Siapa yang bakal menang? Pertanyaan yang lebih penting adalah berapa jumlah calon perempuan yang menang?
Dewi Asmara, Presidium Kaukus Perempuan Parlemen RI menyebut bahwa pilkada 2020 menjadi ajang kontestasi 1.486 calon kepada daerah (Detik, 27/9/2020).Â
Calon perempuan sebanyak 157 orang, sedangkan calon laki-laki adalah 1.329 orang. Dari 157 calon perempuan, 5 calon ikut pemilihan gubernur, 125 orang dalam pemilihan bupati dan 25 berkompetisi merebut kursi wali kota.Â
Meskipun tidak signifikan, partisipasi calon perempuan naik sedikit dari 8,85 % (2018) menjadi 10,6 % (2020). Sebanyak 101 calon perempuan ikut bersaing dalam pilkada 2018.
Berapa calon perempuan yang bakal menang? Jawabannya harus menunggu hasil penghitungan suara. Namun di tengah dominasi kultur partriarki, hasil pemilu sudah dapat diperkirakan.Â
Kemungkinan besar tidak banyak calon perempuan yang bisa duduk di kursi kepala daerah. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi dalam pilkada, tetapi juga dalam pemilu legislatif pusat dan daerah.
Ada beberapa contoh keberhasilan kepala daerah perempuan seperti Bu Risma di Surabaya. Kepempinan perempuan yang menonjol seharusnya memberikan inspirasi pada pemilih untuk memberi kesempatan pada perempuan menjadi gubernur atau bupati.Â
Namun, budaya politik maskulin, proses kaderisasi partai yang bias gender, biaya pilkada yang besar, dan tahapan pemilu yang panjang memperkecil peluang kemenangan calon perempuan.
Etika Keadilan Vs Etika Kepedulian
Jika ada cukup banyak calon perempuan yang menang, apa dampak pada kebijakan pembangunan dan kesejahteraan di daerah? Para pemilih tentu mengharapkan adanya kebijakan yang dirumuskan in different voice. Kebijakan yang berasal dari suara yang lain. Suara yang lain dari laki-laki. suara pemimpin perempuan.
Carol Gilligan, dalam bukunya In A Different Voice (1982) menentang teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg. Teori Kohlberg muncul pertama kali dalam disertasinya di Universitas Chicago (1958).Â
Bagi Kohlberg, perkembangan moral individu dicapai melalui tahap pra-kovensional, konvensional, dan pasca konvensional. Puncak perkembangan moral adalah etika keadilan yang merupakan prinsip moral universal.Â
Dalam prinsip ini, tindakan dipilih karena benar, sesuai hukum, berdasarkan konsensus, dan disepakati sebelumnya.
Bagi Gilligan, teori perkembangan moral Kohlberg terlalu laki-laki. Perempuan tidak bertindak berdasarkan etika keadilan tetapi etika kepedulian. Jika etika keadilan menghasilkan tindakan berdasarkan hak sesuai aturan dan konsensus, etika kepedulian mengharuskan agar tindakan yang diambil didasarkan pada perhatian dan kepedulian. Peduli berarti bahwa tidak boleh ada yang disakiti dan disingkirkan.
Dua prinsip moral ini menjelaskan bagaimana anak laki-laki dan perempuan menyelesaikan konflik secara berbeda. Jika terjadi kecurangan dalam permainan, misalnya, anak laki-laki akan berargumen, bertengkar, tetapi kemudian berunding lalu meneruskan permainan setelah aturan yang adil disepakati.
Pada anak perempuan tidak terjadi demikian. Ketika pertengkaran meletup, mereka akan menghentikan permainan. Berhenti karena tidak mau saling menyakiti dan kehilangan teman. Bagi Gilligan, fakta ini menunjukkan pola perkembangan moral berbeda dari laki-laki.
Perempuan bertindak lebih didasarkan pada kepedulian. Sederhananya tidak boleh ada yang disakiti, tidak boleh ada yang disingkirkan. Prinsip ini yang menjelaskan beberapa jenis tindakan yang diambil perempuan dan tidak bisa dipahami laki-laki.Â
Dalam beberapa kasus, tindakan itu dicap tidak bermoral oleh masyarakat yang didominasi budaya partriaki.
Apakah seorang gadis muda yang menggugurkan kandungan, dipandang tidak bermoral. Jawaban adalah ya berdasarkan prinsip keadilan universal, yakni setiap orang berhak atas kehidupan.Â
Obrolan lebih mendalam akan menghasilkan jawaban berbeda. Aborsi dilakukan karena ia peduli pada pacarnya yang akan putus kuliah, pada orangtuanya yang akan malu, pada yang akan tersakiti karena kehamilannya.Â
Kita tidak sedang mengatakan bahwa aborsi dibenarkan, tetapi perempuan, dalam gagasan Gilligan bertindak berdasarkan prinsip moral berbeda dengan laki-laki.
Perempuan dan Kebijakan yang Peduli? (bersambung bos).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H