Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuhan, Akhirnya Kita Sama-sama OL

30 Oktober 2020   04:06 Diperbarui: 30 Oktober 2020   04:07 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TUHAN, AKHIRNYA KITA SAMA-SAMA OL

Hari itu, Jumat Agung, hari raya penting bagi umat Kristen, baik Katolik dan Protestan. Jadi kategorinya bukan Katolik dan Kristen karena dua-duanya itu Kristen. Jika Kamis Putih semalam adalah perayaan cinta kasih, Jumat Agung itu perayaan penderitaan. Menderita untuk mencintai, mencintai melalui menderita. Jangan bingung, bukankah ada ribuan lagu bicara tentang 'aku menderita karena mencintaimu".

Bukan soal jenis perayaan, tetapi bagaimana merayakannya. Wabah corona mengubah cara Gereja  merayakannya. Tentu juga cara teman-teman beragama lain beribadah. Corona memaksa kita kerja dari rumah,  juga merayakan hari besar keagamaan di dan dari  rumah. Di karena kita duduk di rumah, dari karena kita dihubungkan dengan imam atau rumah ibadat lewat internet. Kita bisa  berdoa di rumah atau di mana saja. Doa-doa daring juga menjadi praktek umum. Kitab suci diganti oleh HP Suci. Meskipun demikian,  perayaan-perayaan besar keagamaan selalu membutuhkan kehadiran Jemaah di tempat ibadah.

Wabah corona mengubah tradisi berjamaah di atas.   Seperti pada hari-hari minggu sejak diumumkan Keuskupan untuk MIDR (Misa/Ibadat di/dari Rumah), kami memperingati Jumat Agung di rumah. Tidak ada tablo (peragaan kisah sengsara), tidak ada operet kisah  sengsara, dan tidak ada upacara cium salib. Saat mengikuti perayaan Jumat agung secara daring, saya berbisik dalam hati: "Tuhan akhirnya kita sama-sama On Line".

Selama ini, perayaan ekaristi dan keagamaan besar Katolik berkaitan dengan  lokasi geografis, meski kecil, yakni rumah ibadat. Selalu ada teritori yang terlibat karena iman mungkin personal, tetapi agama membutuhkan kolektivitas. Beragama membutuhkan ngumpul dan itu butuh tempat ngumpul yakni  teritori bernama rumah ibadat. Tuhan omnipotent (maha kuasa) karena itu bisa omnipresent. Dia bisa  on-line setiap saat, hadir di mana-mana.  Saya, mungkin juga anda masih  membutuhkan teritori kecil bernama rumah ibadah untuk perayaan-perayaan besar. Berdoa bisa di rumah, tetapi merayakan misa hari minggu biasa atau Paskah butuh kumpulan (umat) dan tempat kumpul (gereja). Apalagi dalam tradisi Katolik itu, perayaan ekaristi ini soal communion (persekutuan) antara Kristus dan gerejanya. Gereja dalam pengertian umat dan bukan bangunan. Karena itu harus ngumpul.

 Dan itu tadi,  Corona mengubah cara merayakan ibadat Jumat Agung, Perayaan tidak lagi dalam teritori rumah ibadat. Perayaan agung ini  mengalami proses yang oleh Held dkk (1999) sebagai deteritorialisasi. Ia melepaskan diri dari penjara teritori. Ini bukan fenomena baru. Proses globaliasi dan kemajuan teknologi komunikasi sudah lama melepaskan keterikatan relasi sosial manusia pada lokasi.

Sebagian kegiatan belajar dan kuliah sudah lama bergerak keluar dari place (tempat) ke ruang (space), terutama ruang maya. Ini juga terjadi selama WFH. Proses belajar bergerak dari tempat yakni kelas, ke  ruang yang terbentuk kelas-kelas 'rumah', dihubungkan satu satu sama lain oleh Kawi Kao (jaringan) internet. Internet bahkan mampu membebaskan relasi yang sangat intim antara dua cinta LDR (Lemas DiRindu), dari ruang. Pada masa lalu, pacaran terikat pada lokasi. Dua orang harus bertemu dan bertatap muka di suatu tempat. Saat ini pacaran mengatasi keterikatan lokasi melalu skype, wazzup, facebook. Sebelumnya almarhum Yahoo Messanger sangat popular. Dua kekasih bisa berada ribuan Km tapi 'pacaran. Karena dulu hubungan cinta terikat pada lokasi, maka orang kadang harus menunggu malam minggu, sekarang setiap malam diminggukan.

            Deteritorialisasi adalah gejala kehidupan global yang menguat. Kebijakan-kebijakan di tingkat lokal harus makin memperhitungkan kebijakan negara lain, perilaku individu dan komunitas di negara lain. Siapa yang bisa membayangkan bahwa sebuah act from distance, yakni tindakan satu orang makan kelelawar jauh di Wuhan, bikin mati orang dan bikin ancur ekonomi di berbagai belahan bumi.. Ke depan hidup kita akan makin ditentukan oleh berbagai dinamika sosial lintas teritori. Pandemi yang sebelumnya masih bisa dikurung dalam Kawasan, tiba-tiba bergerak liar ke mana-mana. Seolah-olah segregasi teritori trada artinya.

            Kembali ke praktek keagamaan? Apakah diteritorialisasi perayaan hari besar keagamaan berdampak pada keimanan? Pertanyaan ini mungkin harus dijawab oleh kita masing-masing. Pada saat pimpinan Gereja mengumumkan kebijakan ini, muncul beberapa protes. Mengapa penyakit mengalahkan iman? Apakah kita tidak memiliki iman? Dari sisi lain, misa on-line adalah  kesempatan menguji iman. Dapatkan kita misa dan tetap khusuk tanpa koor, lilin, bau dupa, imam di hadapanmu dan semua symbol representasi ilahi. Dapatkan 'iman' di-misa-kan  di rumah 'ibadah kita' yang penuh piring tak sempat dicuci, tumpukan pakaian di teras belakang, bau masakan menggoda dan godaan-godaan lain?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun