Ulfa Maghfirah, itulah nama lengkapnya. Gadis cantik yang kerap disapa fira oleh teman-teman dan keluarganya. Siapa yang tak kenal dia? kulitnya yang putih, hidungnya mancung, bibirnya yang seksi bak delima merekah, matanya sayu dan sikap malu-malu kucingnya membuat semua orang gemas padanya. Terutama anak-anak muda desanya dan santri pesantren Raudlotul Ulum yang mengidolakan sosoknya sebagai pendamping hidup. Â Kabarnya beberapa pemuda telah datang bermaksud untuk melamarnya, mulai dari anak orang kaya hingga anak pejabat dan kiai. Namun tak satu pun dari mereka yang di terimanya sebagai pendamping hidup.
Suatu hari saat aku lewat depan rumahnya aku melihatnya sedang menyapu halaman rumah, tak ku lewatkan momen indah untuk menikmati wajah ayunya sampai puas. Tak sadar aku tersenyum-senyum sendiri melihat wajah anggunnya, dan hatiku pun bergetar saat ia menyunggingkan seulas senyum dari bibirnya yang indah. Lantunan salam terdengar merdu dari sapaan lembutnya. Aku pun membalas dengan salam yang senada. Sejak itu aku merasa duniaku indah dengan kehadiranya dalam dunia hayalku. Dan ternyata sebuah keajaiban terjadi padaku, ia mengirimkan surat untukku berisi ungkapan hatinya yang di titipkan salah satu santri yang ngaji di pesantren. Entah apa yang membuatnya suka padaku. Aku tak memiliki wajah yang tampan. Aku hanyalah pemuda yang kurang pendidikan agama, anak petani pula. Sedangkan ia adalah gadis keturunan kiai yang sangat mafhum dengan masalah ilmu-ilmu agama. Aku adalah orang abangan, sedang ia orang putih. Perbedaan antara kami sangatlah jauh, bagai langit dan bumi. Namun perbedaan itu tidak meruntuhkan kejadian pernikahan kami.
Setelah kami menikah, kami hidup di desa orang tuaku. Disana aku bekerja membantu bapak di sawah. Aku memang bukanlah seorang pegawai yang bayaranku bisa mencukupi segala kebutuhan hidup kami. Tapi kami hidup bahagia apa adanya, jika menginginkan membeli sesuatu kami harus menabung berbulan-bulan atau bahkan tahun.
Istriku tak pernah mengeluh tentang keadaan kami sesulit apapun. Ia adalah sosok yang patut menjadi panutan bagi anak-anakku kelak. Potret seorang muslimah yang solehah. Aku bangga bisa menjadi pendampingnya. Dan tak kan pernah ku sakiti dia, kan ku jaga dia dengan sepenuh jiwa dan kasihku. Pernah ia bermaksud membantuku kerja disawah, tapi aku melarangnya. Akhirnya ia di minta oleh pak Yusman untuk mengajar di TPA desaku dengan bekal ilmu agama yang ia miliki. Ia pun diterima sebagai pengajar tetap disana. Ia mengajar saat siang sampai sore hari dengan mengendarai sepeda milik adik gadisku yang telah meninggal. Sekali pun begitu ia tampak semangat dan senang sekali dengan aktivitasnya itu. Gajinya memang tak seberapa, tapi ia mampu menabung untuk kelahiran anak kami yang pertama. Setahun setelah kami menikah kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang kami beri nama Rangga. Hari berlalu Rangga pun mulai beranjak jadi anak balita yang lucu dan cerdas seperti ibunya. Saat usia empat tahun Rangga pun punya adik perempuan.
Semakin hari kebutuhan kami semakin banyak, penghasilanku tak memadai untuk mencukupi istri dan dua anakku. Aku pun merasa malu hidup numpang dirumah orang tuaku. Semua serba numpang, mulai dari rumah, makan dan pekerjaan. Lelaki macam apa aku ini? Apa yang akan aku katakan jika keluarga istriku melihat keadaan kami yang seperti ini?. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi merantau ke jakarta, mengadu nasib seperti yang dilakukan orang-orang yang sukses disana. Berharap kesuksesan mampir juga pada kami. Sementara anak-anak kami titipkan orang tua di desa, agar mereka tidak tercemari pergaulan kota yang sangat vulgar.
Di jakarta kami bekerja membuka warung makan kecil di pinggir jalan. Siang malam kami banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup kami. Dan hasilnya pun ternyata tak seberapa. Kami menyisihkan uang untuk anak-anak kami di desa. Dan selebihnya kami harus bayar sewa kost dan untuk modal usaha kami.
Aku merasa tak kuat lagi jadi orang pas pasan. Aku bosan tiap kali ke pasar harus naik angkot dan membawa belanjaan yang segitu banyak dan terkadang berjejalan dengan penumpang lain hingga belanjaanku terbawa angkot kabur. Aku harus punya motor sendiri untuk mempermudah pekerjaan kami. Kemudian aku mengambil motor dari dealer dan mengkreditnya tiap bulan. Penghasilan yang kami peroleh rupanya belum mampu menutup segala kebutuhan kami. Kami pun harus berdebat dan bahkan kucing-kucingan dengan petugas dealer yang menagih uang kreditan tiap bulan. Akhirnya tak lama kemudian motor itu pun di ambil alih dengan delaernya.
Suatu pagi saat aku melayani pembeli, ku dengar perbincangan pembeli itu dengan kawanya katanya di tempat ia kerja sedang membutuhkan satpam. Mendengar berita itu aku langsung menanyakan dan memasuki lowongan tersebut. Alhamdulillah, aku pun di terima disana. Hari berganti bulan, di tempat kerjaku aku semakin mengenal orang-orang dan karyawan lebih akrab. Hingga suatu saat aku akrab dengan seorang wanita. Panggil saja ia Kristin, janda kaya raya pemilik perusahaan dimana aku bekerja. Ia sering menyuruhku untuk membelikan sesuatu untuknya, misalnya makan siang atau kopi dan cemilan. Terkadang ia pun mengajakku makan siang bersama. Keakraban kami semakin hari semakin lengket hingga ia merasa kasihan melihat aku berangkat kerja harus naik angkot, harus berangkat pagi dan pulang larut malam sehingga sampai kantor hampir tiap hari telat. Kadang ia mengantarkanku sampai gang menuju rumah kost ku saat pulang kerja. Karena kebetulan jalan menuju rumah kami searah. Lebih-lebih ia membelikanku sebuah sepeda motor. Ketika istriku bertanya dari mana kok tiba-tiba aku punya sepeda motor aku hanya menjawab itu adalah motor dari kantor supaya aku tidak telat terus. Aku tak ingin berterus terang pada istriku, takutnya nanti ia menyuruhku mengembalikan motor itu karena bukan hakku atau alasan yang lain. Bila aku datang telat atau tak pulang untuk menemani Kristin di bar aku pun hanya bilang lembur di kantor pada istriku. Karena jika aku jujur pasti istriku tidak akan mengijinkanku untuk pergi ke tempat seperti itu. Baginya itu adalah perbuatan yang dilarang agama.
Dari situlah aku menjadi terbiasa dengan pola hidup Kristin yang glamour tanpa landasan agama. Amburadul sesuka hati, tak ada aturan ini itu yang mengikat. Aku pun bisa menyesuaikan penampilan serta gayaku seperti orang-orang kaya ketika di mal, cafe, bar dll. Akhirnya aku pun terjerumus hingga doyan dengan minuman keras. Pernah aku pulang dalam keadaan mabuk, istriku mengingatkanku tapi aku membentaknya. Dengan sabar ia merawatku hingga aku pulih kembali. Begitulah sejak kenal Kristin apa lagi setelah ia memberiku sepeda motor. Kehidupan kota yang awalnya aku tak mau mengenalnya justru aku sekarang mengenal sangat kental. Aku pun mengalami kemajuan, aku mulai bisa nyetir mobil. Kristin memberiku sebuah mobil walau pun standarnya di bawah level mobil miliknya. Sekarang aku bukanlah orang miskin lagi yang hidupnya pas pasan. Aku punya motor, punya mobil, aku kaya raya sekarang.
Pada suatu malam, Kristin memintaku untuk menemaninya di pesta ulang tahun temenya. Pesta itu di gelar di hotel J.W.Marriot hotel mewah di kawasan Jakarta pusat. Tiap tamu undangan di sediakan satu kamar hotel untuk menginap. Disana disuguhkan makanan mewah dari berbagai negara, wine dan minuman minuman mahal berlimpah ruah. Benar-benar party yang sangat mewah. Maklum yang punya acara adalah pengusaha terkenal level dunia. Seusai acara para undangan  menempati kamar yang telah disediakan. Aku sekamar dengan Kristin. Sebelum tidur Kristin mengajakku ngobrol sambil minum wine. Entah apa yang terjadi malam itu, ketika pagi-pagi aku terbangun dalam keadaan telanjang dibawah selimut bersama tubuh molek Kristin yang tak terbalut kain satu pun. Setan apa yang telah munyusup dalam diriku sampai sampai aku tergoda melihat keindahan tubuh janda itu. Dan mengulangi lagi perbuatan nista itu sampai Kristin hamil. Kristin memintaku untuk menikahinya dengan iming-iming rumah mewah. Aku bingung antara Fira dan Kristin. Berat bagiku menceraikan Fira,tapi jika aku tidak menikahi Kristin, berarti aku gagal menjadi orang sukses. Sedangkan aku tak mau hidup sengsara terus-terusan. Aku harus jadi orang kaya.Aku pun menikahi Kristin tanpa sepengetahuan istriku. Aku jadi jarang pulang ke rumah kost karena dirumah Kristin jauh lebih nyaman. Tak harus berpanas-panasan oleh udara Jakarta yang terkontaminasi polusi lagi. Tak seperti di tempat yang kost yang kami sewa, beratap seng sangat panas jika siang hari. Dan bocor ketika hujan. Oh, betapa sengsaranya. Lambat laun istriku pun curiga ketidak beradaanku bersamanya. Sikapku berbeda dari suami yang ia kenal dahulu. Sesuai dengan kemauan Kristin aku menceraikan istriku tanpa satu kesalahan pun yang ia lakukan terhadapku. Walau berat, tapi demi menjadi orang kaya kulakukan permintaan Kristin itu. Aku hidup bahagia dengan istri baruku dalam istana megah, mobil mewah dan uang yang melimpah ruah. Tak perlu susah payah siang malam bekerja, Kristin mempunyai perusahaan yang cukup banyak yang di kelola oleh beberapa anak buahnya. Salah satunya adalah perusahaan dimana aku bekerja jadi satpam dahulu. Karena saat ini aku bukan lagi seorang penjual makanan di warung kecil, bukan pula seorang satpam tapi adalah seorang direktur di salah satu perusahaan milik Kristin.
Aku merasa puas terhadap apa yang aku raih saat ini, kejayaan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kepahitan. Teringat anak-anak di desa, aku segera menelepon bapak untuk mengantarkan mereka ke kota dan ku ajak hidup di kota menikmati keberhasilan bapaknya. Mereka sering menanyakan ibunya, tapi aku selalu mengatakan bahwa Kristin lah ibu mereka. Karena mereka kami tinggal kejakarta masih sangat kecil. Masih polos untuk dibohongin. Dan belum bisa mengenal ibunya dengan jelas. Kecuali Rangga, ia sering menolak jika aku mengatakan bahwa Kristin adalah ibunya.
Kejayaan itu tak berlangsung lama. Satu per satu perusahaan Kristin mulai bangkrut. Sebagian terlalap oleh si jago merah akibat kelalaian karyawan. Habislah semua kekayaan. Kristin stres dan mengusirku beserta ke dua anakku. Mobil, motor, rumah semua disita oleh bank. Tak ada sisa tabungan pun untuk bertahan dalam keadaan itu.
Bermodal uang selembar ratus ribuan dan beberapa uang puluh ribuan yang tersisa di dompet aku dan anak-anak pulang ke desa. Kami terpaksa naik truck yang kami cegat di jalan. Harus berhari hari untuk bisa sampai desa. Sedangkan untuk makan aku mengalah untuk sekali makan dalam sehari demi anakku. Sampai terakhir uang yang bertahan dalam dompetku adalah koin kuning lima ratus rupiah, kami harus berjalan berkilo-kilo untuk sampai rumah bapak. Kasihan anak anakku, mereka sangat lelah dengan perjalanan kami yang tak selayaknya mereka lalui. Harusnya aku menaikkan mereka bus, dimana mereka dulu sangat ingin naik bus gede. Namun apa dayaku, ketamakanku terhadap harta menjebloskanku ke dalam lembah dosa, dan penyesalan. Maafkan bapakmu anak- anakku, kemudian aku gendong kedua anakku menyusuri langkah satu kiloan lagi. Sesekali bertemu dengan tetangga mereka menyapa dan menanyakan Fira, ibu dari anak-anakku. Aku hanya bisa diam tak berkutik mengingat kekejamanku menceraikanya tanpa kesalahan yang ia perbuat. Apa lagi saat aku mengahandle orang tuaku untuk tidak memberikan anak-anak pada dia, dan aku memfitnahnya dialah istri durhaka yang akan membawa kabur anak-anak. Justru akulah yang membuat hidupnya sengsara, aku durhaka terhadapnya. Sosok yang tujuh tahun lalu aku nikahi dengan setulus hati harus menerima perlakuanku yang kejam gara-gara tergiur dengan kekayaan.
Entah dimana Fira sekarang, aku sama sekali tak pernah mengetahui keberadaanya setelah perceraian itu. Aku pun tak pernah peduli dengan keadaanya. Ia pasti merindukan anak-anak. Dan aku tak mungkin bisa kembali padanya. Hatinya sangatlah hancur atas perbuatanku.
Kami pun sampai di rumah bapak, aku rebahkan anak-anak di tempat tidur. Aku pandangi seluruh sudut rumah yang terhiasi dengan beberapa pajangan bikinan tanganya. Sungguh ia memberiku apa yang tak Kristin berikan padaku. Ketulusan cinta yang ia miliki untukku telah aku sia-siakan begitu saja.
Air mataku menganak sungai membasahi pipiku. Sesal tiada terkira yang menghampiriku. Teringat saat ia menyambutku ketika aku pulang dari sawah, di cium tanganku dan di siapkan makan serta minumku. Kemudian di ruang tamu saat sore menunggu adzan magrib kita bercengkerama disana. Sepeda yang ia kendarai untuk ke TPA, dan banyak hal yang mengingatkan kebahagiaanku bersamanya dulu. Tapi semua itu hanya tinggal puing kenangan yang hancur oleh pengkhianatan.
@@@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H