Mohon tunggu...
Nikmatul Sugiyarto
Nikmatul Sugiyarto Mohon Tunggu... Tutor - Tutor

Berekspresi tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ngapain Mewah-mewah Kalau yang Sederhana Saja Sudah "Wah"

1 Desember 2022   15:04 Diperbarui: 1 Desember 2022   15:18 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Pusdataru Jateng; BBC

"Mereka itu kaya tapi tidak kelihatan", bisik tante di telingaku. Kala itu aku dan tanteku sedang ngobrol tentang tetangga baru kami. Dia datang dari pelosok desa, pindah ke kota karena anaknya akan menuntut ilmu di kota metropolitan ini.

Jika biasanya orang-orang menjadikan Jakarta sebagai kota untuk mencari pekerjaan, kali ini tujuannya untuk mengantar sang anak mengenyam pendidikan di salah satu sekolah negeri di ibukota.

Anaknya memang pintar. Dia mendapat universitas untuk mengenyam bangku kuliah lewat jalur undangan atau yang biasa dipanggil dengan sebutan SNMPTN.

Saat kutanya tanteku apa maksud dari bisikannya itu, dia dengan fasih memaparkan hasil gosipnya bersama ibu-ibu di kompleknya. Sudah wajar bukan jika mereka ini kupanggil sebagai ibu-ibu sosialita.

Tujuan didirikan perkumpulannya saja untuk membicarakan hal-hal terkini dan terpercaya. Sudah macam infotainment saja bukan. Aku tertawa saat mendengar asal-usul komunitasnya itu.

"Jadi dari mana tante tahu tetangga baru itu kaya raya", kepoku semakin menjadi, tatkala ceritanya justru melebar kemana-mana. Orang tua si anak adalah pedagang. Awalnya memang hanya pedagang kecil tapi karena keuletan suami-istri itu, dagangannya berkembang pesat.

Banyak pasar di beberapa titik kini sudah mereka kuasai. Asetnya saja sudah dimana-mana, ada yang berupa kos, kontrakan, tanah, sawah, dan yang terakhir tambak.

Kepalaku mulai mengeluarkan gencatan alarm jika yang disinggung sudah berkaitan dengan duit, harta, dan semacamnya. Bagaikan kalkulator, aset-aset itu sudah berkeliling di kepalaku. Sibuk mengalkulasikan aset tetangga baru, si tante menyadarkanku kembali agar fokus pada ceritanya.

Walaupun mereka kaya, tapi penampilan mereka sama sekali tidak menampilkan hal itu. Dari baju sehari-hari yang dikenakannya saja jauh dari kata mewah, lebih ke biasa saja. Kekayaan juga tidak membuat keluarga itu dekat dengan sifat sombong, justru mereka terkenal dengan kerendahan hatinya dan kedermawanannya.

Bayangkan, setelah menempati rumah barunya saja, si ibu sudah membagikan sembako ke tetangga-tetangga barunya. Padahal kalau dihitung komplek tanteku ini penghuninya tidak sedikit lho.

Jika kuperkirakan saja ada 25-30an unit rumah. Belum lagi saat si ibu membuat kreasi masakan dari desa, semua orang komplek kecipratan hasil karyanya juga. Kesederhanaan tetangga baru tanteku mengingatkan tentang cerita gubernur Jawa Tengah saat ini.

Mata tanteku berbinar ketika kusebutkan nama gubernur satu itu. Kami bercerita bagaimana kesederhanaan pemimpin satu itu. Provinsi yang dinaunginya mengalami banyak perubahan. Entah dari infrastrukturnya, fasilitas, dan birokrasinya.

Tak ketinggalan program-program yang dicanangkan Ganjar Pranowo nyatanya juga mengundang ketertarikan tersendiri. Kalau kata tanteku bukan hanya elok rupanya tapi juga elok kinerjanya.

Jawa Tengah itu adalah provinsi padat penduduk, sering dipandang sebelah mata karena beberapa hal. Tapi bersama Ganjar Jateng mampu bangkit. Hal-hal yang berbau pungli ia sikat habis, agar tidak menjadi benalu dalam tubuh provinsi satu itu.

Sosoknya yang sederhana terlihat dari beberapa infrastruktur yang dibangunnya selama memimpin Jateng. Lihat saja, adakah bangunan mewah yang dibangun oleh Ganjar? Tidak.

Orang-orang memandang sebelah mata karena hal itu. Bahkan ada yang berseloroh bahwa infrastruktur yang dibangun Ganjar itu tidak ada apa-apanya dengan yang dibangun Anies Baswedan ketika menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Justru itu yang perlu kita amati ulang.

Suhunya Jateng itu membangun infrastruktur berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Bukan yang bisa dipamerkan karena kemewahannya, namun minim fungsinya.

Seperti pembangunan embung, yang lebih menunjang kepentingan rakyat daripada harus membangun tempat yang hanya berfungsi sebagai spot foto yang netizen sebut sebagai "tempat instagramable".

Dengan pembangunan embung, pengairan sawah menjadi lancar, kebutuhan air tidak lagi menjadi kesulitan. Dan tentunya wadah penampungan air hujan menjadi bertambah. Manfaat-manfaat itu sudah banyak dirasakan langsung oleh rakyat.

Gubernur Jateng itu memang gemar membuat infrastruktur yang fungsinya lebih dari satu. Tak heran banyak yang menyebut program-programnya ini sebagai karya yang full inovasi.

Sepertinya Pak Ganjar ini selalu menerapkan peribahasa sekali dayung, dua pulau terlampaui. Makanya infrastrukturnya multifungsi. Yah... jadi tambah heran sama orang di luar sana yang masih teriak "Apa prestasi Ganjar?".

Rasanya pengen kutabok pakai sandal, tapi apa daya tangan tak sampai. Tanteku kembali tertawa mendengar gurauanku itu. Memang dasar tanteku satu itu sangat receh, hal lucu dikit sudah diketawainya habis-habisan.

Tak berhenti di embung, aku akan menampar mereka dengan prestasi lain Ganjar lewat sistem EBT yang digagas Ganjar, untuk merubah desa menjadi mandiri. EBT adalah energi baru dan terbarukan. Pengembangannya dilakukan dengan pengedaran bantuan ke beberapa daerah.

Energi tersebut dapat berupa biogenic shallow (gas rawa), biogas, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan lain sebagainya.

Penggunaan gas rawa sendiri sudah dimanfaatkan untuk kebutuhan gas elpiji bagi mereka di daerah yang susah mendapatkan gas, seperti halnya di Banjarnegara.

Lalu ada juga yang mendapat manfaat dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di kabupaten Pekalongan. Mereka menggunakan listrik itu bukan hanya untuk kebutuhan perkeluarga saja tapi juga prasarana umum. Seperti penerangan jalanan, tempat wisata, masjid, balai desa, sekolah dan lain-lain.

Dari waktu ke waktu pengembangan EBT makin banyak dirasakan rakyat. Tak heran Ganjar dinilai sukses besar dalam programnya satu ini. Hingga datanglah undangan sharing tentang energi gagasannya ini pada salah satu rangkaian acara G20 di Bali beberapa hari yang lalu.

Saat berbicara kesederhanaan dalam kepemimpinan gubernur Jateng, terlihat kontras dengan kepemimpinan gubernur DKI Jakarta. Berbeda dengan Jateng yang jauh dari kemewahan, DKI selalu dikelilingi kemewahan.

Apalagi di bawah kepemimpinan Anies Baswedan kemarin, banyak infrastruktur yang menghabiskan dana yang dapat membuat orang memekik kaget. Aku semakin terkejut ketika melihat berita yang datang dari ibukota negara itu.

Keluhan datang dari warga pengguna halte bunderan HI. Saat peresmiannya saja sudah nampak cacatnya, pun dengan sekarang sudah direvitalisasi tapi nyatanya keluhan semakin menjadi.

Mereka mengeluhkan tentang ketidaknyamanan saat berada di halte tersebut. Saat seharusnya tempat umum itu mengundang kenyamanan justru hanya menampilkan kemewahannya saja tanpa memberikan fungsi yang seharusnya.

Yang dulunya atapnya bolong, kini setelah adanya perbaikan bukannya sembuh justru memperparah. Kamar mandi yang tidak ditemukan para pengguna bis membuat mereka harus menahan keperluan untuk menyambangi ruangan satu itu.

Atau terpaksa mereka harus keluar dari bangunan semewah kapal pesiar itu untuk menemukan kamar mandi yang mereka butuhkan. Tidak sebanding dengan mewahnya bangunan tapi di dalamnya tidak mencangkup kebutuhan dari penggunanya.

Belum lagi kesempitan tempat yang dikeluhkan mereka dengan penambahan anak-anak tangga di dalamnya. Sudah bagus sebelum revitalisasi salah satu anak tangga itu tidak hadir, kini anak malang itu harus ditambahkan.

Entah bagaimana perancangannya, hingga Anies dulu tergesa-gesa dalam peresmiannya. Sekarang banyak kecarut-marutan dalam hasil proyeknya.

Ah iya, mereka masih mengeluhkan tentang kondisi becek dalam halte itu, apakah betul atap bocor saat peresmian belum ditambal lagi? Sungguh yang seperti inilah selalu menggelendoti rekam jejak Anies sebagai gubernur DKI Jakarta.

Hari demi hari, kecacatannya dalam memimpin terus bermunculan tanpa komando sang empu. Belum lagi bangunan-bngunan lain yang dinilai hanya sebagai hiasan kota metropolitan itu saja, tapi tidak memiliki fungsi yang baik.

Entah mengapa yang seperti itu menjadi prioritas Anies, sedangkan hal-hal besar lain diabaikannya? Seperti bidang Pendidikan yang mengalami angka putus sekolah tinggi, naturalisasi sungai yang mandeg, dan masih banyak lagi.

Beda orang memang beda cerita. Ganjar dan Anies memang sama-sama memimpin sebuah provinsi, tapi perbedaan yang amat kontras terlihat dari cara keduanya. Begitu pula hasil kinerjanya.

Niat yang tulus dan niat yang ditunggangi kepentingan sudah semakin jelas rupanya, bukan?

Nikmatul Sugiyarto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun