Mohon tunggu...
Nikmat Jujur
Nikmat Jujur Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hanya Selingan

Anak jalanan tak pernah ngecap Pendidikan.... masih belajar nulis.... sekalipun banyak Cercaan mungkinnya ... tapi aku pingin nulis selalu.... tanpa ragu.... Putera Timur Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Revolusi Politik Ahok”

24 Maret 2016   12:23 Diperbarui: 24 Maret 2016   12:39 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Jalur politik kini jadi sarana utama mengejar popularitas menuju tercapainya sejuta harapan dan cita-cita baik individu maupun kelompok. Menolak adalah mustahil, memarjinkan adalah kewajaran perkecualian terkait eksistensi perpolitikan. Secara perlahan tanpa disadari politik di Republik mengalami revolusi. Praktek ini mulai dicuitkan oleh sosok Ahok dengan mengambil jalur independent ini langkah Ahok menjalankan konsep revolusi politiknya. Patut dicatat bahwa revolusi politik terbaik teraktualisasi di India. 

Dimana india mendapat pengakuan kedaulatan dari Inggris melalui gerakan massa yang dipimpin oleh tokoh-tokoh kharismatik, memiliki dukungan dari mayoritas rakyat, dan termasuk aktor kelembagaan dalam agenda masyarakat, kelembagaan di sini adalah institusi militer, Kehakiman, dan Birokrasi.  Tidaklah mengherankan jika kelak dukungan kelembagaan adalah sangatlah vital untuk suksesnya proses revolusi politik, dimana revolusioner politik haruslah memiliki kemampuan melobi kekuatan institusional agar mendapat mendapatkan kendaraan dalam melanggengkan agenda perubahan mereka dan bersama masyarakat melalui penggunaan media secara efektif (Political Revolutions by Brian Tracy).


Teman Ahok adalah dukungan utama Ahok, manufer Ahok mencari simpatik dan dukungan intitusi adalah langkah ovensif melanggengkan misi mulianya merevolusi perpolitikan di Indonesia. Bagaimana tidak akan langgeng jika kenyataan dibeberapa dekade perpolitikan tanah air belakang menampakkan perpolitikan Indonesia terkait pemilihan kepala pemerintahan lebih bernuansa kelabu bukanlah pencerahan terhadap warna dan konteks nasionalis, patriotis dan kebangsaan. Kenyataan semakin jelas terlihat politik semakin tergagas menjadi kendaraan penting pemburu target pencapaian visi misi kelompok tanpa mengutamakan keberlangsungan nasib bangsa. 

Para politikus terlihat begitu nyamannya bersembunyi di balik kekuatan politik dengan janji dan ocehan manis berbuah kepahitan kelak, yang bagi rakyat pendukung yang adalah asset penting bangsa dianggap pembohongan publik. Lantas bagaimana dengan Ahok hingga kini sulit terkepung oleh indikasi kebohongan publik karena nilai kebohongan terhadap publik Ahok boleh kata minim benar sedang pesaing politiknya entahlah harus dikata apa juga kembali pada penilai publik terhadap track record masing-masing. 


Megawati Cuma Tersenyum Tahu Ahok Maju Independen, hal ini berindikasi dukungan tapi pastinya politik sulit di salami ke terselubungnya. Demikian pula jawaban Mega yang mengatakan “PDIP juga punya mekanisme partai sendiri” kata Ahok mengulang pernyataan singkat Mega saat bertemu pada Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam. PDIP adalah barometer meningat PDIP sementara jadi Partai berkuasa, lantas bagaimana dengan Nasdem dan Hanura yang terlihat begitu kelabu namun terselubung makna tarik ulur memuluskan langkah Ahok atas nama semangat perjuangan kebangsaan. Hal tersebut harus jadi perhitungan utama pesaing Ahok nantinya. 

Tapi wajar jika pilkada DKI mendatang jangan tolak keberadaan kandidat lain. Pastinya penting diperhatikan bagaimana melepas dan mengikhlaskan semua kandidat yang sementara antusias mengikuti Pilkada DKI berkompetisi secara sehat demi hadirnya pemimpin berhati rakyat bukan pemimpin berhati kemana-mana.  Yakinlah bahwa PDIP, Nasdem, Hanura tahu sepak terjang Ahok dari luar sampai dalamnya, untuk apa berempati kalau tak paham background Ahok, namanya konyol lagi pula mereka adalah politisi mapan lapangan kok bukan politikus ketemu gede.


Kemulusan Ahok melaju dari jalur Independent harus diakui sebagai langkah positif revolusi perpolitikan di tanah Air. Awam sih mungkin lebih berpikir sederhana saja mengkebiri eksistensi partai adalah jalan terbaik, sekalipun terkesan kembali ke masa lalu yang hanya dimeriahkan 3 (tiga) partai saja yakni GOLKAR, PDI dan PPP karena dari banyak sisi benar efisien, efektif dan ekonomis penerapannya. Dari sisi financial terhadap kerugian Negara Good, sikap politik rakyat yang tidak terpecah belah good, mengurangi adanya penyalahgunaan identitas partai good, dan masih ada lagi yang harus dipertimbangkan guna menstabilkan kondisi politik bangsa ke jalan yang sepantasnya dan selayaknya guna penyatuan gerak langkah kemajuan bangsa ke depan.  


DPR boleh menjegal niat Ahok mengikuti kemauan Teman Ahok, tapi bukannya langkah Teman Ahok itu tidaklah salah? Aturan sebenarnya untuk mengatur dan mengoptimalkan pemberlakuan bukan mendiskriditkan atau langkah penjegalan terhadap kondisi tertentu, jika demikian maka namanya tak professional Dewan terhormat kita. DPR harus paham kehadirannya adalah karena rakyat bukan karena kuat dan pintarnya, sehingga mana lebih urgen antara kepalan tangan Teman Ahok dkk apa kepalan tangan anggota DPR di senayan. 

Patut digaris bawahi kalau saja eksistensi Negara akan semakin terusik jika saja para politikus Senayan tidak lagi mengkonsenkan kearifannya pada nurani rakyat mengingat mereka hanyalah subjek bukan Objek. Sehingga memiikirkan sikap tindak yang mencerahkan adalah wajib sehingga secara outomatis posisi DPR Senayan terlihat berkualitas dan professional sebagai wakil rakyat, bukan justru menampakkan citra kekuasaan dan kepintaran serta kebolehan, itu saja yang utama untuk diperhatikan segenap penghuni gedung elit senayan.    


Akhirnya sebagai catatan akhir belajar dari pengalaman profesionalme handal di dunia, maka masalah pendidikan formal sangatlah haruslah jadi penentu peran dan rekam jejak politikus. Di samping pentingnya kemampuan berkomunikasi baik tertulis maupun lisan serta keterampilan memanaj waktu dan perhatian secara baik dalam mengelola beberapa tanggung jawab secara bersamaan, mampu tampil di bawah tekanan, sehingga terlihat jelas memiliki keterampilan multitugas yang cukup menuntut ketrampilan mengoptimalkan kondisi kenyamanan lingkungan kerja, sekaligus mampu berpikir kritis dalam memecahkan masalah (https://www.livecareer.com)

Demikianlah harapan ke depan bagi kemunculan politisi masa depan jangan lagi seperti Ahok menghadapi Dewan terhormat di Senayan yang masih terkesan disprofesi. Agar kelak fungsi peraturan di Republik tetap merujuk pada mengatur, bukan mempertentangkan soal sepeleh. Siapa mengatur, siapa mau diatur dan aturannya bagaimana konsisten/ inkonsisten adalah jawaban sikap dan tindakan merujuk relevansi kemartabatan dan kehormatan bangsa.

Salam kebangsaan sekali merdeka tetap merdeka.
Sekali maju tetap maju jangan mundur.
 

Goresan Putera Timur Nusantara 24 Maret 2016

 

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun