Mohon tunggu...
Nikmat Allah
Nikmat Allah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

learn anywhere, anytime, and from anyone

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI

6 Agustus 2021   11:06 Diperbarui: 6 Agustus 2021   11:20 2519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan semakin berkurangnya wilayah kekuasaan kerajaan, maka kedudukan dan wibawa kerajaan semakin merosot, sedangkan di pihak lain pemerintah kolonial semakin kuat. Hal ini dibuktikan dengan terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi empat kerajaan, yakni Kasunan, Mangkunegaran, Kasultanan, dan Pakualaman. Perpecahan tersebut disebabkan oleh politik kolonial Belanda, sehingga harus dilawan dengan perlawanan yang bercorak politik juga. Maka terjadilah perang Diponegoro, perang paderi dsb. Begitupun dengan berbagai gerakan perlawanan dengan pemerintah kolonial belanda. Misalnya, pergerakan Kyai Tambak Merang di daerah Wonogiri dan pergerakan Haji Jenal Ngarip pada tahun 1847 di Kudus.

Bisa disimpulkan, bahwasanya corak perjuangan melawan penjajahan sebelum abad 20 adalah bersifat lokal, dipimpin oleh tokoh masyarakat, melakukan perjuangan fisik atau bersenjata, mudah dipecah oleh Belanda, dan perjuangannya-pun belum terorganisir. Walaupun perlawanan yang sporadik belum membuahkan hasil yang manis, akan tetapi itu adalah bentuk kesadaran awal bagi suatu bangsa atas kemerdekaan tanah airnya.

Perkembangan perekonomian liberal yang berkembang di Nusantara menuai banyak kritik di kalangan orang belanda moralis. Walaupun culture structural sudah dihapuskan, namun belum menjadi solusi untuk kesejahteraan pribumi. Misalnya, C. Th. Van Deventer di majalah Gids, ia menyampaikan kritiknya terhadap Pemerintah Belanda dengan tulisan yang berjudul Een Ereschuld atau suatu hutang budi. Menurutnya, kemakmuran Belanda diperoleh dari kerja kerasnya orang primbumi. Maka dari itu, Belanda sebagai negara yang maju dan bermoral haruslah membayar hutang budi atas rakyat jajahannya. Yang kemudian Ratu Wilehelma mengeluarkan kebijakan baru dalam pidatonya tahun 1901 yang berjudul Ethiasche Ritching (Haluan Baru) atau yang disebut politik etis. Politik etis dengan program utama Trias Politika, yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi (transmigrasi).

Politik etis diharapkan dapat membawa perubahan kepada keadaan yang lebih baik. Namun, dalam praktik kebijakan tersebut masih tetap digunakan untuk memenuhi kepentingan dan keuntungan Pemerintah Kolonial Belanda. Maka dari itu, politik etis sering disebut politik tangan sutera sebagai ganti dari politik tangan baja. Kita bisa melihat penyimpangan praktik kebijakan tersebut di bidang pendidikan. Pendidikan ditujukan untuk mendapat tenaga kerja yang berkompeten dengan harga yang murah. Dan tidak semua orang bisa mengenyam pendidikan, hanya orang-orang tertentu dari pegawai pemerintah, anak keturunan bnagsawan, dan anak-anak Eropa. Di sisi lain, politik etis mampu memunculkan golongan berintelektual yang kemudian menjadi pelopor kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia. Ketika memasuki babak baru pada awal abad 20, yaitu masa perjuangan pergerakan nasional atau masa kebangkitan nasional, maka merekalah golongan terdidik sebagai penggeraknya.

Pada masa pergerakan nasional , perjuangan dilakukan melalui organisasi-organisasi yang dibentuk oleh golongan terpelajar. Organisasi yang dibentuk tidak hanya sebatas organisasi di bidang politik, melainkan di bidang sosial dan budaya yang bercorak nasional maupun islam. Misalnya Budi Utomo, Sarekat Islam (SI), Indische partij, Perhimpunan Indonesia (PI), Muhamadiyah, NU, dst. Begitupun juga terbentuk organisasi para pemuda yang berfungsi sebagai penengah solidaritas, penyalur aspirasi dan cita-cita yang akan dijadikan kader-kader pemimpin di masa depan. Seperti organisasi tri koro Dharmo yang kemudian menjad Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa dll.

Memang benar, pada saat itu kata 'Indonesia' belum terlalu dikenal, sehingga organisasi dan perkumpulan pemuda pada saat itu masih bersifat kedaerahan. Namun mereka-pun bisa disatukan. Sumpah Pemuda sebagai bukti konkrit nasionalisme bangsa Indonesia pada dasawarsa awal di abad 20. Mereka sadar bahwa bangsa yang berada dibawah kolonialisme Belanda telah terwujud dengan sebuah ikrar dan janji yang menyatakan persatuan bangsa, tanah air dan bahasa. Kemudian ikrar tersebut dinyatakan lebih tegas dengan usaha untuk mewujudkan visi dan spirit yang sama yaitu kemerdekaan Indonesia. Maka pada hari Jum'at tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia  di rumah hibbah dari Faradj bin Said bin Awadh Martak di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang diketik Sayuti Melik dan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta setelah melewati peristiwa-perstiwa yang sulit 

Perlu diketahui, saat pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan Indonesia, Islam memiliki peran yang sangat strategis dalam perjuangan kemerdekaan RI. Karena mayoritas penduduknya muslim yang pada saat itu islam sudah tersebar luas mulai abad 13 di Nusantara. Maka sudah sepantasnya umat muslim berperan besar dalam perjuangan ini. Begitupun Islam menyeru untuk[A1] berjihad fisibilillah  untuk melindungi agama dan tanah airnya.

Jauh sebelum memasuki fase kebangkitan nasional yang dimana para tokoh anak bangsa mulai sadar untuk melepaskan negaranya dari jeratan penjajah, bukan berarti para pendahulu berdiam diri tak berbuat apa-apa. Akan tetapi para pendahulu, terutama para ulama, santri dan rakyat telah memperjuangkan melawan penjajahan, seperti Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Imam Bonjol di Sumatera Barat, Cut Nyak Dien di Aceh. Namun, perjuangan mereka belum mampu untuk menghentikan penjajahan di atas bumi pertiwinya, karena masih bersifat kedaerahan dan perjuangannya belum terstruktur dengan baik. Tidak seperti perjuangan pada abad-20 yang berskala nasional.

Begitupun pendidikan pesantren pada zaman kolonial juga ikut berperan aktif dalam perjuangan melawan penjajah, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang menjadi pertahanan umat islam dari penetrasi Belanda, sebagai pusat dakwah, dan pembentukan masyarakat yang solid. Walaupun di masa penjajahan pesantren terdeskriminasi oleh kebijakan Belanda. Misalnya pada abad 18, tragedi pembantaian 5.000 sampai 6.000 kyai di Alaun-alun Plered Mataram yang dilakukan oleh Amangkurat 1. Pekembangan pesantren-pun bayak didukung oleh pesantren kerajaan. Karena pada saat itu banyak kerajaan yang berdiri di Hindia-Belanda , seperti Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam Banten, Kerajaan Islam Pajang. Namun seiring berjannya waktu, dengan datangnya VOC yang pada dasarnya merupakan sebuah badan kongsi dangang yang dimiliki Protestan, maka pendidikan pesantren mengalami kemerosotan dengan eksisnya pendidikan kolonial dan kebijakan pemerintah Belanda yang tidak apresiatif dengan lembaga pendidikan Islam. Hal ini berjalan sesuai dengan tujuan untuk menjadikan Indonesia yang terbaratkan. Walaupun menimpa banyak kesulitan, dengan rahmat Allah pesantren mampu bertahan dan berkembang, bahkan sekarang pesantren telah tersebar ke seluruh penjuru Nusantara.

Di pesantren-lah peran kyai dan guru untuk melawan penjajahan. Dengan menanamkan nilai-nilai Islam dalam keidupan sehari-hari yang mungkin bertolak belakang dengan kehidupan para penjajah, seperti pelarangan berpenampilan seperti penampilan orang Belanda. Karena berdirinya pesantren merupakan respon dari umat Islam terhadap dominasi Imperiais Belanda. Bukan berarti berdirinya pesantren disebabkan karena adanya penjajahan, pesantren-pun telah berdiri jauh sebelum itu. Akan tetapi, pesantren dijadikan medan pembinaan umat untuk menghadapi imperialisme tersebut.  Maka tidak salah jika jumlah terbesar dari gerakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial adalah para kyai dan santri.

Perlawanan tersebut berupa perlawanan tersembunyi maupun secara terbuka. Perlawanan tersembunyi dilakukan dengan sikap konservatif, desefensif, dan isolasionis, sedangkan perlawanan secara terbuka dilakukan dengan sikap nonkooperatif yang dikobarkan melalui semangat anti penjajahan. Peran tersebut yang menciptakan sebuah kesadaran protonasionalisme. Selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga berfungsi menjadi a center of anti-Dutch sentiment.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun