Mohon tunggu...
Nikmah Mentari
Nikmah Mentari Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Konsultan

Penulis, Pendidik, Konsultan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi 77 Tahun: Kontemplasi 'Merdeka'

17 Agustus 2022   14:40 Diperbarui: 17 Agustus 2022   14:42 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena yang terus berulang akan menjadi sebuah tradisi, sementara sejarah hanya terjadi sekali dalam momentum yang penuh harapan. Event-event menyambut selebrasi kemerdekaan sudah menjadi tradisi di dalam negeri, meski peristiwanya tidak akan terulang lagi. 

Puluhan tahun sebelum 77 tahun lalu, 'kemerdekaan' merupakan kata yang langka dan haram. Karena itu artinya kolonialisme akan mengakhiri segala jenis kekuasaan, kekuatan, kekayaan yang selama tiga setengah abad mencengkram kuat di bumi pertiwi. Bumi penghasil rempah-rempah dan tanah yang begitu subur. Kemerdekaan sebagai bentuk kekuatan baru dimana kekuatan untuk menentukan nasib serta kehendak sendiri, dalam hal ini tentu saja nasib bangsa Indonesia yang tersebar dari berbagai pulau, suku, daerah, agama, dialek, adat serta tradisi. 

Kata merdeka juga masih asing serta awam bagi pribumi pada awal-awal penjajahan. Karena memang awalnya bangsa Eropa khususnya Belanda datang sebagai 'tamu'. Ketika akhirnya kaum priyayi atau pribumi yang terpandang dapat disejajarkan dengan kaum eropa, sehingga menikmati akses pendidikan serta informasi, tercetuslah 'kemerdekaan' dalam jiwa mereka. Sebagai pribumi terpelajar yang progresif,panggilan nurani sesama tidak dapat diacuhkan. 

Ide besar untuk menyatukan daerah-daerah jajahan Belanda dalam satu kesatuan negara berdaulat yang merdeka merupakan gagasan 'ekstrem' kala itu. Itu artinya, akan menggerogoti keseluruhan kekuasaan penjajah.   Merdeka, mengandung harapan akan kebebasan mengelola sumber daya alam secara adil dan merata bagi kesejahteraan seluruh warga. Peluang sebagai negara berdaulat dapat melakukan kerjasama internasional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, serta tantangan  untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai negeri yang berdikari.

Meski kini, merdeka acapkali terdengar dan terngiang-ngiang secara lumrah. Terlebih dalam rangka menyambut Peringatan 17 Agustus, berbagai pernak-pernik terlihat di seluruh penjuru gang-gang kompleks perumahan dan perkampungan. Promo dan diskon menarik di pusat perbelanjaan, serta malam tirakat hingga perlombaan yang mengisi kemeriahan kemerdekaan. Kata merdeka memang tidak sesakral dimasa penjajahan, karena toh rakyat Indonesia telah bebas dijajah secara fisik dan akses. Hanya saja, perjuangan tidaklah berhenti setelah Belanda dan Jepang 'terusir' 77 tahun yang lalu. 

Negeri ini masih memiliki perjalanan panjang yang mana harapannya digantungkan pada generasi penerus bangsa. Setelah pandemi Covid-19 yang sempat meluluh lantakkan berbagai sektor kehidupan di dalam dan luar negeri, Indonesia merangkak kembali untuk bangkit, pulih dan melanjutkan perjuangan untuk 'merdeka' di lain kesempatan dan lain perspektif.  Karena sepanjang hayat masih melekat dalam jasad, sepanjang itulah nasib dan takdir pribadi bangsa Indonesia belum benar-benar 'merdeka'. Karena hidup adalah perjuangan, berjuang melawan diri sendiri (hawa nafsu), berjuang melawan toxic environment and relationship, berjuang menghadapi tantangan dan ancaman dalam kehidupan yang serba tidak pasti (bencana alam, inflasi, virus, pandemi, krisis moneter, perang,dsb). 

Kemerdekaan tidak hanya boleh sekedar perayaan ritualitas yang menandai kalender merah setiap tahunnya, kemerdekaan juga harus merasuk ke dalam jiwa generasi penerus masa kini. Untuk menanyakan kembali, apa yang telah dan akan dilakukan baik untuk diri sendiri serta ibu pertiwi. Karena merdeka tidak hanya berhenti disini, merdeka jangan berhenti di selebrasi. Merdeka ialah terus berjuang menjadi diri sendiri lebih baik dari kemarin. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun