Mohon tunggu...
Nikita Yunistia
Nikita Yunistia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Program Studi Jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Cyberbully, Senjata Tajam di Era Digital

17 Desember 2024   15:52 Diperbarui: 17 Desember 2024   16:22 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran jaringan internet membawa pengaruh luas terhadap aspek perkembangan teknologi komunikasi. Internet dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Bahkan, jaringan internet dapat menjangkau keluarga atau kerabat jauh dengan memunculkan media sosial sebagai sarana beraktivitas di dunia maya, fenomena ini disebut dengan fenomena komunikasi virtual.

Menurut Rulli Nasrullah dalam bukunya, media sosial merupakan medium atau perantara di internet yang memungkinkan penggunanya mempresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerjasama, saling berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lainnya, dan membentuk ikatan sosial secara virtual. Pada era modern seperti ini, hampir seluruh populasi manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari ponsel atau gadget mereka. Hal ini terjadi kerana manusia modern lebih banyak menghabiskan waktu mereka di depan layar ponsel daripada berinteraksi secara langsung dengan individu yang lainnya.

Aktivitas di media sosial mencakup bermacam-macam hal. Ketika mulai menggunakannya, media sosial menghadirkan kemudahan untuk pengguna berbagi informasi. Mengunggah foto atau video, membangun komunitas daring. Media sosial juga kini menjadi sarana untuk mencari hiburan, membangun personal branding, hingga melakukan kegiatan komersial. Peran media sosial dalam kehidupan sehari-hari semakin signifikan, terutama di kalangan generasi muda yang tumbuh dalam era digital.

Media sosial juga telah mengubah cara berperilaku para individu dalam bersosialisasi. Segala bentuk tindakan kini berevolusi mengikuti arus perkembangan digital. Tidak hanya suatu perubahan yang positif, tetapi perkembangan teknologi juga membawa arus perubahan negatif. Contohnya, tindakan yang awalnya dilakukan secara langsung, kini melahirkan beragam bentuk tindakan negatif. Salah satu tindak kejahatan yang ikut mengalami perubahan yaitu, perundungan.

Perundungan adalah suatu kejahatan kekerasan. Perundungan adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Berbicara soal perundungan, kenyataannya, perundungan sudah sejak lama terjadi dengan bentuk tradisional, atau dilakukan secara langsung. Sayangnya, perundungan atau bullying dapat dialami di dalam lingkungan sekolah, keluarga, pekerjaan, dan masyarakat.

Sejiwa berpendapat, bullying atau perundungan adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya. Korban bully berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Sebelum hadirnya media sosial, perundungan secara langsung (direct bullying) terjadi secara langsung dengan cara pelaku memukul korban, menganiaya korban, menghina korban, atau melecehkan korban.

Psikolog Reni Apriliawati menyatakan bahwa bullying atau perundungan dapat terjadi di dua lingkungan. Yaitu lingkungan langsung atau tradisional, dan lingkungan dunia maya, atau cyberbullying. Cyberbullying adalah istilah baru yang pertama kali muncul di artikel New York Times pada tahun 1995 dan mulai tidak awam digunakan oleh masyarakat Canberra, Australia pada tahun 1998. Kemudian, pada tahun 2010 istilah ini masuk ke Oxford English Dictionary (OED) sebagai istilah baru, yang artinya perundungan secara siber.

Lewat media sosial, bentuk-bentuk aktivitas online seringkali dibagikan dan siapapun dapat dengan mudah mengakses. Jika dalam bentuk direct bullying seseorang dapat merundung seseorang secara langsung, lewat media sosial, tindak kejahatan ini kerap kali dilakukan oleh orang-orang yang memanfaatkan identitas anonim untuk melancarkan aksi mereka.

Fenomena perundungan sudah tidak terdengar asing. Bahkan, di era modern seperti ini semakin marak angka bunuh diri karena faktor perundungan. Baik perundungan secara langsung maupun lewat dunia maya. Perundungan lewat dunia maya merupakan senjata tajam di era digital ini. Alasannya, karena pelaku perundungan dapat bersembunyi tanpa harus memberitahu identitas asli sebenarnya (anonim). Mereka dapat mengatur setelan profil dengan identitas palsu, bahkan mencuri identitas orang lain untuk mengadu domba.

Berbeda dengan tindak perundungan tradisional, bentuk-bentuk cyberbullying sangat beragam. Mereka dapat berupa ujaran kebencian/fitnah di media sosial, menyerang atau meneror seseorang dengan kata-kata kasar, menyebarkan data pribadi seseorang, membagikan informasi, foto, atau percakapan pribadi seseorang di media sosial tanpa izin untuk mempermalukan korban, mengunggah tangkapan layar percakapan pribadi korban dan menambahkan komentar merendahkan, mengucilkan seseorang dengan sengaja dari grup online, seperti grup chat atau komunitas daring, lalu mendiskusikannya di belakang layar, mengomentari fisik seseorang dengan cara yang menghina atau merendahkan di media sosial, dan banyak lagi bentuk cyberbullying lainnya.

Cyberbullying adalah salah satu bentuk penyalahgunaan teknologi yang lahir dari percampuran faktor. Diantaranya adalah faktor anonim, kemudahan akses, dan sifat-sifat 'instan' yang datang dari internet. Faktor ini dilatarbelakangi karena banyak orang merasa lebih bebas untuk berkata atau melakukan sesuatu yang buruk, karena mereka tidak harus menghadapi konsekuensinya secara langsung. Anonimitas seseorang merupakan 'tameng' untuk pelaku perundungan, yang seringkali tidak menyadari atau bahkan mengabaikan dampak emosional dari tindakan mereka terhadap korban.

Sifat penyebaran teknologi yang sangat cepat memungkinkan informasi menyebar dengan cepat. Hal ini, bagi para korban perundungan, adalah situasi yang dapat membuat mereka ketakutan. Dengan cepatnya jaringan internet, komentar atau media yang memalukan bisa tersebar luas dalam hitungan menit. Jejak digital bisa bertahan selamanya. Dalam hal ini, korban tidak hanya harus menghadapi rasa malu dan takut secara langsung, tetapi juga menimbulkan permasalahan mental akan 'hantu digital' yang terus ada.

Namun, hal ini bisa dicegah karena kemajuan teknologi bukanlah sumber permasalahan utama dalam kasus cyberbullying. Sebagai audiens yang harus melek terhadap adanya tindak kejahatan di internet, meningkatkan literasi digital dapat menjadi salah satu antisipasi utama dalam mencegah terjadinya kasus cyberbullying. Seharusnya, kita harus memanfaatkan kecepatan penyebaran teknologi sebagai cara untuk memperluas edukasi, seperti spreading awareness tentang keselahan mental, memfasilitasi pelaporan kasus perundungan siber dan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku.

Menurut penulis, kita harus lebih bijaksana dalam menggunakan teknologi. Jika setiap pengguna memanfaatkan teknlogi dengan penuh tanggungjawab dan sadar akan dampak yang akan diterima orang lain, penulis yakin bahwa fenomena perundungan siber dapat dicegah. Tentunya, hal ini tidak mudah. Tetapi, jika terjadi kolaborasi antara pengguna, keluarga, sekolah, dan pemerintah, penekanan kasus perundungan siber akan sangat mungkin sekali dicapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun