Pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai memberikan dampak yang besar ke segala sektor, salah satunya sektor ekonomi. Hal ini sangat dirasakan oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang mengalami krisis ekonomi akibat pandemi ini.
Di masa pandemi Covid-19 ini, sebagian besar Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mengalami berbagai macam pertarungan, mulai dari penurunan pendapatan, penurunan daya beli konsumen, produksi yang menurun, sulitnya mencari bahan baku, dan berbagai macam kesulitan lainnya. Bahkan tak sedikit pula pelaku usaha yang mengalami gulung tikar karena perekonomian yang sangat memprihatinkan. Namun, kondisi itu tidak terjadi pada salah satu UMKM yaitu usaha pembuatan gula jawa dari nira kelapa.
Suroso (53), seorang pengrajin gula jawa yang berasal dari desa Wareng, kecamatan Butuh, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengaku bahwa pandemi Covid-19 ini tidak berdampak pada usahanya. Di saat banyak usaha lain yang mengalami penurunan, usaha pembuatan gula jawanya tetap berjalan seperti biasa bahkan cenderung mengalami peningkatan.
"Alhamdulillah usaha saya masih berjalan lancar seperti biasanya. Saya sempat was-was pas awal-awal pandemi, saya pikir karena ada PSBB sama lockdown permintaan gula jawa bakal turun tapi ternyata tidak", ujarnya sambil tersenyum.
Pak Suroso lalu menjelaskan bahwa usaha pembuatan gula jawa ini sudah ditekuni sejak lama, yaitu sekitar pada tahun 1990. Usaha ini bermula dari desakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi karena pada saat itu beliau dalam keadaan menganggur. Melihat bahwa di desanya banyak yang menjadi pengrajin gula jawa beliau pun tertarik dan berinisiatif untuk mencobanya. Lalu dengan bermodalkan niat beliau pun memulai usaha pembuatan gula jawa.
Di tahun-tahun awal memulai usaha, Pak Suroso hanya menderes beberapa pohon kelapa, itu pun pohon kelapa milik sendiri. Baru sekitar tahun 2000-an Pak Suroso mulai mencoba menyewa pohon kelapa milik tetangga. Selain karena untuk menambah produksi gula yang dihasilkan, Pak Suroso juga mengimbangi permintaan konsumen yang semakin meningkat.
Di sekitar tahun 2010 Pak Suroso bahkan sempat memiliki 20 pohon kelapa yang bisa disadap. Sayangnya, beberapa tahun terakhir ini jumlah pohon yang di sadap berkurang. Hal itu disebabkan karena pohon kelapa yang biasanya disadap sudah tidak mengeluarkan air nira lagi. Hingga sampai saat ini Pak Suroso memiliki 15 pohon kelapa yang terdiri dari 10 pohon milik sendiri dan 5 pohon milik orang lain yang di sewa.
Usaha pembuatan gula kelapa itu dilakukan di rumahnya sendiri dengan dibantu oleh istrinya, Mutiah (47). Setiap pagi dan sore Pak Suroso menyadap pohon kelapa yang dimilikinya. Wadah yang sudah dipasang di pohon kelapa yang berisi nira itu diambil lalu diganti dengan wadah yang baru. Penggantian wadah itu biasa dilakukan di pagi hari sehingga sorenya hanya menyadap saja.
"Air nira itu saya ambil di pagi hari lalu langsung dipanaskan agar tidak basi. Saya biasa mematangkan biar jadi gula itu setiap tiga hari sekali mbak. Soalnya kalau langsung dimatangkan hasilnya tidak banyak jadi sekalian nunggu sadapan berikutnya. Tapi ya itu setiap pagi air nira harus dipanaskan sambil nunggu sampai hari ketiga", terang Pak Suroso.
Setiap satu kali pembuatan biasanya menghasilkan sekitar 12 kg gula. Selain menjualnya kepada pengepul, Pak Suroso juga menjual gulanya secara kiloan. Konsumen biasanya dari tetangga-tetangga beliau. Tapi terkadang ada juga pembeli dari luar desa. Untuk dijual pada pengepul, Pak Suroso baru bisa menjualnya setelah sembilan hari atau lebih karena menunggu sampai plastik wadah gula terisi penuh. Pada masa pandemi, omset yang didapat dari penjualan gula sekitar 500-700 ribu dalam satu kali penjualan. Setiap 1 kg gula oleh pengepul dihargai sebesar Rp 14.000. Harga tersebut bisa berubah sewaktu-waktu tergantung kondisi pasar.Â