Mohon tunggu...
Ni Ketut Ayu Sari Utari Dewi
Ni Ketut Ayu Sari Utari Dewi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Komunikasi

Mahasiswi Komunikasi yang baru memulai menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Salahkah Terobsesi dengan Jumlah "Like" di Media Sosial?

13 Januari 2021   20:49 Diperbarui: 17 Januari 2021   23:11 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(sumber: unsplash.com /@kate_torline)

Jika kita mengunggah sesuatu, mendapatkan like yang banyak, dan merasa mood seolah naik, artinya otak kita sudah mengalami sensasi kecanduan layaknya mengonsumsi narkoba.

Menurut artikel jurnal yang ditulis Profesor Adam Alter dari New York University berjudul "Irresistible: The Rise of Addictive Technology and Business Keeping Us Hooked", efek yang dirasakan ketika memperoleh banyak like ialah timbulnya hormon dopamine.

Hormon ini biasanya muncul ketika kita meminum alkohol, merokok, atau mengonsumsi narkoba. Nah, apabila otak kita menyamakan perasaan ketika mendapatkan banyak like seperti perasaan saat memperoleh penghargaan, dopamine akan muncul setiap kali jumlah like unggahan kita bertambah. Sehingga, jumlah like yang kita miliki seolah menjadi "tombol on", atau stimulus, pada otak untuk mengaktifkan sistem penghargaan pada otak.

Namun, perasaan senang dan peningkatan  dopamine yang muncul akibat statistik media sosial ini dapat meningkatkan ketidakpercayaan diri. 

Ketidakpercayaan diri yang muncul dapat berupa perilaku seperti membandingkan diri sendiri dengan orang lain, mengalami rasa ketidakpuasan, bahkan hingga menciptakan image palsu demi keinginan dan pujian dari orang lain.

Saya sendiri pun pernah melewati fase ingin disukai banyak orang. Dulu saya rela pergi ke kafe Instagrammable dan memesan makanan berpenampilan cantik demi mengunggah foto estetis ke Instagram.

Hal tersebut saya lakukan hampir setiap minggu dengan mengajak teman-teman lain, lalu mengambil foto diri dengan gaya ala selebgram disertai oleh makanan yang ditata cantik dengan harga yang tidak murah.

Hasil foto tersebut kemudian saya sortir berdasarkan mana yang sekiranya akan disukai orang lain, lantas saya lakukan beberapa proses pengeditan, seperti perubahan warna foto dan juga bentuk badan, kemudian barulah saya unggah ke Instagram.

Pada awalnya respons yang saya dapat memang sangat baik, dilihat dari banyaknya like dan feedback pada foto-foto yang saya unggah. Sehingga, saya pun ketagihan karena ingin orang lain terus menyukai unggahan saya. Namun, sayangnya hal ini tidak berlangsung lama. 

Setelah beberapa kali mengunggah foto, respons yang saya dapat justru semakin menurun, seolah orang-orang bosan dengan foto yang saya unggah.

Rasa jenuh ketika harus menampilkan sisi sempurna dalam diri sendiri pun muncul. Berpikir bahwa selama ini telah mengorbankan waktu dan tenaga yang banyak hanya agar disukai oleh orang lain. Padahal mereka tidak tahu di balik senyuman manis yang saya tampilkan, mengandung banyak sekali perjuangan. Ketika tidak memperoleh respons baik, saya pun mulai mempertanyakan diri sendiri seperti,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun