Pendidikan merupakan fondasi bagi kemajuan sosial dan perkembangan pribadi setiap individu. Selain itu, pendidikan sudah selayaknya menjadi sarana bagi kita untuk tumbuh dan berkembang, meraih potensi, serta pengetahuan yang kita butuhkan agar menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Namun, pada kenyataannya, ada kasus-kasus kekerasan yang terjadi justru di lingkungan pendidikan. Kasus-kasus ini mencakup berbagai bentuk kekerasan, mulai dari pelecehan verbal hingga kekerasan fisik yang parah. Hal ini tentu saja menodai tujuan dari pendidikan, yaitu memerdekakan individu.
Melalui tulisan ini, saya akan memberikan argumen tentang kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan. Kasus ini tentu dapat dilihat melalui konteks pendidikan yang memerdekakan, yaitu seperti konsep yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Kita dituntut untuk lebih bijak dalam memahami bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan merupakan masalah yang harus diberantas hingga tuntas. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan nilai dan prinsip pendidikan yang memerdekakan.
Pada hari Minggu, 6 Agustus 2023, tempo.co menampilkan berita yang berjudul “Kasus Kekerasan di Sekolah Terjadi Lagi, Guru Celupkan Tangan Siswa ke Air Mendidih”. Berita ini memuat sebuah kasus kekerasan di lingkungan pendidikan yang terjadi di Flores Timur, NTT. Seorang guru di SMK Swasta Bina Karya Larantuka, Flores Timur, NTT mencelupkan tangan seorang siswa ke dalam air mendidih. Tindakan kejam ini telah memicu reaksi keras dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang mengutuk aksi kekerasan tersebut dan mendesak aparat kepolisian untuk segera mengusut kasus ini.
Menurut keterangan yang diterbitkan oleh FSGI, beberapa foto yang menunjukkan tangan korban yang melepuh dan bernanah telah beredar luas di media sosial. Pelaku diduga adalah seorang biarawan Katolik bernama Bruder Nelson yang juga merupakan pendidik di sekolah tersebut. Kejadian ini telah dilaporkan oleh orang tua siswa ke Polres Flores Timur pada 3 Agustus 2023.
Kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan merupakan masalah yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius. Ki Hajar Dewantara memberikan pemahaman kepada kita bahwa pendidikan harus memerdekakan peserta didik. Artinya, peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengembangkan diri mereka, baik secara fisik maupun mental, sesuai dengan kodratnya.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru di Flores Timur, NTT, seperti dalam berita, merupakan pelanggaran terhadap prinsip pendidikan yang memerdekakan. Tindakan tersebut jauh dari konsep mendidik yang digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu menuntun. Seorang guru sudah seharusnya menuntun peserta didik dan menemaninya dalam tumbuh kembang yang mendewasakan. Seorang guru juga harus memberikan arahan dan bimbingan kepada peserta didik untuk memastikan bahwa tindakan mereka sudah sesuai dengan prinsip dan nilai pendidikan, bukan justru mencontohkan tindakan kekerasan.
Kita juga perlu memahami kodrat alam dan kodrat zaman dalam pendidikan. Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk dari lingkungan tempat anak itu berada. Sementara itu, kodrat zaman adalah perlakuan kepada anak sesuai dengan zaman yang berlaku saat ini. Pendidik atau guru beserta seluruh staf dan jajarannya di sekolah seharusnya memberikan lingkungan yang nyaman dan aman bagi semua peserta didik. Selain itu, dalam proses pembelajaran, guru juga dapat memanfaatkan perkembangan teknologi dalam penyampaian konten materi. Kondisi yang seperti ini akan dapat menciptakan iklim belajar yang kondusif serta membantu peserta didik untuk tumbuh menjadi pribadi yang sesuai dengan harapan kita bersama.
Menurut Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik sudah semestinya untuk menjadi pamong, yaitu mendidik dengan sepenuh hati sesuai dengan perkembangan peserta didik. Konsep ini dikenal dengan sistem among yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri melalui pengalaman, pemahaman, dan upayanya sendiri.
Ditinjau dari aspek religiusitas, kasus kekerasan ini mencerminkan ketidakpatuhan terhadap nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan kekerasan dalam pendidikan adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai cinta kasih, perdamaian, dan keadilan yang diajarkan oleh semua agama di Indonesia.
Kekerasan dalam pendidikan juga bertentangan dengan nilai budi pekerti luhur yang seharusnya ditanamkan kepada anak sejak dini. Seorang pendidik seharusnya membantu peserta didiknya untuk mengembangkan karakter yang baik dan luhur. Namun, pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan sekolah, tetapi juga melibatkan keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Keluarga juga harus terus mendukung penanaman budi pekerti ini melalui pola asuh yang baik.
Hal yang juga perlu untuk kita ketahui bersama adalah dampak kekerasan tersebut pada anak didik. Kasus guru yang mencelupkan tangan siswa ke dalam air mendidih bukan hanya melibatkan tindakan fisik yang mengerikan, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam pada anak tersebut. Dampak yang dapat ditimbulkan adalah trauma, rusaknya hubungan guru dan siswa, dan ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan.
Simpulan dari analisis ini adalah bahwa kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan adalah permasalahan yang sangat serius terhadap prinsip-prinsip dasar pendidikan, nilai-nilai kemanusiaan, religiusitas, karakter, dan penghargaan terhadap kodrat alam dan zaman. Tindakan semacam ini harus diberantas dan diusut tuntas. Lebih lanjut, perlu adanya tindakan dan pendekatan yang sesuai untuk pendidikan yang lebih baik ke depannya. Dalam rangka memastikan lingkungan pendidikan aman dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan peserta didik secara positif, kita perlu menerapkan konsep-konsep yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam lingkungan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H