Pengakuan batik sebagai salah satu warisan dunia yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 lalu membuat batik menjadi naik daun dan go public. Setidaknya, makin banyak orang yang sekarang berbangga hati mengenakan batik untuk ke kantor, ke pesta, jalan-jalan santai, dan tak ketinggalan tentu untuk menggendong bayi (eh?). Setidaknya (lagi), makin banyak motif batik yang bertumbuhan di berbagai kota di Indonesia. Jika dulu yang terkenal hanya batik solo atau batik jogja, maka sekarang batik papua-pun ada lho. Tak terkecuali di kota kecil saya, tumbuh pula batik yang mengusung nama Batik Selotigo. Nama Selotigo yang berari 3 batu ini sangat identik dengan nama Salatiga. 3 batu tanda nama kota saya di masa lampau (jaman belum ada plang nama apalagi gerbang batas kota) ini secara kreatif diangkat sebagai brand batik kota kecil kami. Alhamdulillah, akhir bulan Juni 2013 lalu, kami berkesempatan mengintip langsung dapur pembuatan batik ini dan berbincang-bincang dengan sang penggagas Batik Selotigo, Bapak Fatichun, langsung di kediamannya di Jalan Raya Salatiga-Beringin.
Menyelami proses pembuatan batik tahap demi tahap membuat saya makin menyadari bahwa batik adalah sebuah masterpiece yang luar biasa. Butuh ketelatenan, kesabaran, kreativitas, dan kecintaan yang besar untuk menghasilkan sebuah batik yang indah. Tak heran jika kain batik, apalagi yang batik tulis, lantas dijual dan dihargai dengan sangat mahal. "Meskipun motifnya sama, takaran warnanya sama, prosesnya sama, tapi kalau yang membuat beda orang, hasilnya tidak pernah sama," kata Pak Sardi, pembatik di Batik Selotigo. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H