Mohon tunggu...
Niken Satyawati
Niken Satyawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ibu biasa

Ibu 4 anak, tinggal di Solo. Memimpikan SEMUA anak Indonesia mendapat pendidikan layak: bisa sekolah dan kuliah dengan murah. Berharap semua warga Indonesia mendapat penghidupan layak: jaminan sosial dan kesehatan. TANPA KECUALI. Karena begitulah amanat Undang Undang Dasar 1945.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang, Napas Kehidupan Masyarakat Sidowarno

20 Agustus 2024   23:35 Diperbarui: 21 Agustus 2024   01:30 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung mencoba panahan tradisional di Desa Wisata Sidowarno. Foto: Niken Satyawati

Hari beranjak siang. Matahari mulai meninggi. Derap kehidupan begitu terasa di Dusun Butuh, Desa Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Klaten, Jawa Tengah. Derap yang tidak biasa. Di desa lain, penduduk barangkali memilih pergi ke sawah atau ladang. Tidak demikian dengan penduduk di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Desa Wisata Wayang Sidowarno ini.

Hampir semua penduduk desa ini beraktivitas untuk sebagai pengrajin wayang dan aneka tetek bengek produk kerajinan tradisional pendukungnya. Di tengah desa ada bangunan rumah joglo yang dinamai Joglo Omah Wayang. Di depan joglo adalah jalan desa. Ornamen dan lukisan wayang terlihat di sana-sini. Suasana desa jadi "wayang banget". Desa Sidowarno memang istimewa, hingga layak menerima aneka penghargaan, salah satunya Kampung Berseri Astra. Masyarakat desa ini berkeyakinan bahwa wayang bukan sekadar benda seni. Lebih dari itu, wayang adalah simbol jembatan peradaban yang tangguh melintas dari generasi ke generasi.

Seorang pria paruh baya, tampak sedang mencelup kulit yang masih sarat dengan bulu ke dalam kubangan air berukuran 2x4 meter. Kulit adalah bahan dasar produksi wayang. Pak Hasan, begitu dia biasa disapa, menceritakan kulit yang dicelupnya adalah kulit kerbau. Dia membeli kulit-kulit kering dari Banyudono, Kabupaten Boyolali. Kulit dicelup untuk kemudian dikerok.

Di sudut lain, Pak Jay, rekan Pak Hasan tengah mengerok kulit kering berukuran besar.  "Dulu saya memahat kulit sebelum jadi wayang. Tapi sekarang  pilih mengerok," tuturnya. Pak Jay menambahkan, kulit lengkap dengan bulu dicelup dulu ke dalam air untuk membersihkannya dari kotoran sekaligus melembabkan.

Setelah dicelup, kulit tersebut dicencang, kemudian dikerok untuk membersihkannya dari bulu. Pengerokan satu kulit kerbau berukuran besar membutuhkan waktu dua hari. Sedangkan kulit berukuran kecil cukup satu hari. "Pengerokan dilakukan dua kali. Pengerokan pertama itu belum bersih. Lalu dikerok lagi yang kedua kali, baru siap siap jual," ujarnya. Sedangkan limbah kerok, menurut Pak Jay, digunakan sebagai pupuk atau anti hama.

Sebagaimana Pak Hasan dan Pak Jay, di Desa Wisata Sidowarno ada 80-an kepala keluarga yang sehari-hari berprofesi sebagai pengrajin wayang. Mereka mempunyai spesialisasi sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Pak Jay mengerok kulit kerbau. Foto: Niken Satyawati
Pak Jay mengerok kulit kerbau. Foto: Niken Satyawati

Sementara itu Pak Narto, menekuni kerajinan wayang sebagai penatah. Senjata penatah adalah tatah dari besi yang ukurannya kecil kecil. "Saya sudah 30 tahun menatah wayang. Sejak kecil sudah belajar. SMP sudah mahir dan saya lakukan sampai sekarang," paparnya. Pak Narto mengaku memang ada darah pengrajin dari salah satu paman yang juga penduduk setempat. Butuh waktu tiga hari untuk menatah wayang berukuran kecil.

Pak Narto yang kini 45 tahun, memiliki dua putra. Satu putra di Kelas III SMK dan adiknya duduk di Kelas II SD. Dia menyatakan tidak punya pekerjaan sampingan. Sehari-hari hanya menatah wayang. "Alhamdulillah dari menatah wayang bisa menyekolahkan anak-anak dan bikin rumah," tandasnya.

Adalah Pak Rosyid, yang bertempat tinggal tak jauh dari rumah Pak Narto. Dia seorang pengrajin berusia 43 tahun. Sehari-hari dia juga berprofesi sebagai pemahat atau penatah kulit.  Pak Rosyid belajar menatah sejak masih duduk di bangku SD. Berbeda dari Narto, Pak Rosyid berhenti menatah wayang dan beralih menjadi penatah kaligrafi. "Spesialisasi saya menatah. Dulu saya menatah wayang, tapi sekarang lebih banyak menatah kaligrafi. Dibanding wayang, kaligrafi lebih cepat dapat duitnya," bisik dia.

Pak Rosyid menjual hasil kerajinannya secara online. "Para pembeli harus memesan dulu, dengan cara membayar 50 persen sebagai tanda jadi. Kemudian setelah pesanan selesai, melunasi. Baru kemudian barang dikirim," kisah Pak Rosyid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun