Mohon tunggu...
Niken Satyawati
Niken Satyawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ibu biasa

Ibu 4 anak, tinggal di Solo. Memimpikan SEMUA anak Indonesia mendapat pendidikan layak: bisa sekolah dan kuliah dengan murah. Berharap semua warga Indonesia mendapat penghidupan layak: jaminan sosial dan kesehatan. TANPA KECUALI. Karena begitulah amanat Undang Undang Dasar 1945.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akhiri Polarisasi, Koalisi atau Mati

10 Januari 2023   10:48 Diperbarui: 10 Januari 2023   11:50 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tujuh pentolan parpol bergandengan tangan. (Sumber foto: IG Airlangga Hartarto)

Kenapa PDIP tenang-tenang saja, tidak buru-buru deklarasi capres? Kenapa juga Nasdem pilih deklarasi duluan, walau akhirnya menjadi pro dan kontra bahkan di dalam partai sendiri? Semua adalah strategi untuk posisi tawar.Dengan mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres, Nasdem yang suaranya tak begitu besar meneguhkan posisinya dan mengajak kelompok satu visi berkoalisi. Adapun PDIP adalah satu-satunya partai yang punya kesempatan mengusung sendiri capres/cawapres tanpa koalisi. Walau kecil kemungkinan itu akan dilakukan. Koalisi tetap dibutuhkan untuk mendapatkan kemenangan dan mengkondisikan parlemen nantinya.

Yang jelas Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum punya kewenangan penuh untuk memutuskan siapa yang akan maju. Apakah anaknya sendiri yang sudah digadang-gadang sejak lama namun tidak berhasil mendapatkan elektabilitas yang berarti? Atau kader partai lainnya, termasuk yang disuruh membranding anak kesayangan, tapi malah membranding dirinya sendiri dan para pendukung beramai-ramai membully sang anak?

Entahlah. Bisa jadi PDIP malah tidak akan mengajukan kedua pilihan tersebut, dan mengajukan capres alternatif sebagai kejutan. Kondisi politik sekarang jauh berbeda dengan 2019. Kali ini tidak ada kader yang benar-benar bagus dan kompeten, sekaligus sangat tinggi elektabilitasnya seperti Jokowi yang sempat menyentuh angka di atas 50%. Sehingga sangat aman untuk diajukan. Ibaratnya dipasangkan dengan siapapun termasuk sandal jepit, sangat kecil kemungkinan kalah.

Tapi kondisi saat ini tidak ada kader yang benar-benar kuat elektabilitasnya. Elektabilitas di kisaran 30% itu sangat tidak aman. Itu artinya masih ada 70%-an suara di luar sana yang bisa jadi akan bergabung. Mau tidak mau, PDIP harus membuka diri, membuka peluang koalisi dengan pihak luar yang juga kuat.

Repotnya, publik pendukung capres-capres bersikap sangat keras bahkan cenderung arogan. Seolah-olah junjungannya sudah pasti dicapreskan, dan kemenangan sudah di depan mata. Sehingga sehari-hari terus membully capres lain dan siapapun yang dianggap tidak mendukung junjungannya. Hal ini tak hanya membuat orang makin antipati, tapi bisa jadi juga membuat partai di luar sana makin malas untuk berkoalisi, selain membuat polarisasi dalam masyarakat makin tajam.

Nggak pendukung A, nggak pendukung B. Saling bully tiada henti. Padahal kemenangan masih jauh panggang dari api. Bahkan sang junjungan juga belum tentu dicapreskan. Situasi ini lebih menggelikan daripada mengkhawatirkan.

Kemarin, Golkar bertemu para pentolan parpol yang punya kursi di DPR. Hampir seluruhnya, kecuali PDIP. Paman AHA dililingi AHY, Cak Imin, dll. Mereka bertujuh adalah pimpinan partai besar dan rada besar. Ini juga bargaining. Makin menarik karena secara tidak langsung mereka menunjukkan kekuatan di luar PDIP yang harus diwaspadai.

Sementara publik masih terkejut dan tidak terima ketika politisi dari ranah cebong duduk berdampingan dengan politisi dari kadrun. Padahal koalisi adalah kunci. Koalisi atau mati. Publik mesti siap-siap kejutan lain yang lebih membagongkan.

Pada satu sisi, duduk bareng antarkubu yang pernah berseteru di 2019, bukankah bagus? Karena polarisasi sudah waktunya diakhiri. Jangan terjadi lagi politik kebencian seperti 2019 yang membuat rakyat terpecah menjadi dua bagian.

Segala carut marut  ini juga yang membuat politisi PDIP tidak buru-buru deklarasi. Para pemain politik penentu keputusan di elite PDIP rata-rata senior dan matang dalam berpolitik. 

Mereka yakin dukungan elektoral bukan satu-satunya pertimbangan mengajukan calon presiden. Desakan publik yang dikuatkan hasil lembaga survei manapun (termasuk pesanan) tak akan mempengaruhi keputusan. 

Mereka akan mencari dan memutuskan calon yang dianggap benar-benar kompeten dan mampu menjadi pemimpin. Bukan sekadar mengajukan yang paling populer karena media sosial dan tinggi elektabilitasnya akibat pintar main konten.

Mereka tetap tenang. Tidak banyak manuver. Mereka tahu kapan saat yang tepat untuk mengeksekusi keputusan politik.

Sementara para capres sendiri malah udah pada kampanye walau dengan aneka kedok seperti jalan sehat, lari-lari, sepeda gembira tapi dengan penggalangan massa besar. Saling tuding curi strat kampanye padahal sama aja...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun