Hoax atau disinformasi dan ujaran kebencian via internet adalah fenomena global, bukan hanya di Indonesia. Internet Governance Forum (IGF) 2018 yang digelar 12-14 November di UNESCO Headquarters, Paris menaruh perhatian besar pada terhadap masalah ini sehingga menempatkannya dalam pembahasan di beberapa ruang diskusi, dengan sudut pandang berbeda serta panelis berbeda-beda pula.Â
Fenomena ini dibahas dari sudut kebijakan antarnegara, sisi jurnalistik, perkembangan teknologi informasi, platform media sosial hingga di kalangan multistakeholder yang terkait.
Semua sadar fenomena hoax dan juga hate speech bukanlah masalah sederhana. Dampaknya pun bisa sangat fatal. Dari putusnya pertemanan, terbunuhnya orang, pecahnya konflik hingga perang. Sedihnya justru ada yang menggunakannya untuk meraih kekuasaan. Hoax dan hate speech mengatasnamakan agama tak kalah mengerikan lagi daya rusaknya.
Para jurnalis senior dalam diskusi bertajuk "How to Reconcile Journalism & Internet" menyiratkan keputusasaan. Mereka belum menemukan jalan keluar dengan masalah yang timbul akhir-akhir ini sedangkan ancamannya bagi keberlangsungan dunia jurnalistik begitu nyata.
Pendeknya, semua merasakan keprihatinan yang sama. Semua ingin melakukan sesuatu untuk menciptakan atmosfer internet yang sehat, internet yang bisa dipercaya, internet yang keberadaannya untuk kemudahan dan kebaikan hidup manusia, bukan sebaliknya.
Benang merah dari berbagai diskusi yang saya ikuti menempatkan fact checking, digital literacy ,dan critical thinking sebagai kata kunci dalam mengatasi masalah hoax/disinformasi. Sebenarnya ini bukan hal baru bagi mereka yang sudah lama bergerak di gerakan perlawanan terhadap hoax, termasuk Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia), di mana saya duduk sebagai salah satu presidium.
Tiga kata kunci ini terus bergema di ruang-ruang diskusi IGF 2018 bahkan sejak opening ceremony yang dihadiri oleh Sekjen PBB, Antonio Guterres dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
Fact checking terus menerus harus dilakukan agar orang mendapatkan informasi yang benar. Literasi digital harus diprogramkan di semua kalangan karena hoax mungkin akan terus ada. Namun itu tidak menjadi masalah ketika orang sudah melek tentang dunia digital. Yang juga menarik adalah ketika masyarakat sudaj melek literasi digital dan memiliki critical thinking, maka tindakan hukum tidak direkomendasikan dalam kasus penyebaran hoax.
Yang terakhir dan jangka panjang adalah menumbuh critical thinking di semua kalangan. Bagaimana membuat orang tidak gampang percaya pada setiap informasi yang datang. Menciptakan generasi yang lebih kritis dan tak enggan mempertanyakan setiap fenomena yang ada di depan mata.Â
Tiga kata kunci ini tanggungjawab siapa? Jawabannya adalah tanggung jawab bersama. Dalam hal ini sinergi dan kolaborasi sangat dibutuhkan. Negara harus membuat regulasi sedemikian rupa.Â
Platform internet termasuk media sosial juga mesti menciptakan algoritma baru yang bisa mengantisipasi penyebaran hoax dan dampaknya. Lembaga pendidikan dan kelompok sosial kemasyarakatan perlu melaksanakan program edukasi terus menerus bahkan kalau perlu ada kurikulum anti hoax.
Akhirnya, semoga tiga hal ini ditambah mengaktifkan kegiatan-kegiatan offline, perjumpaan-perjumpaan demi menggempur dinding artifisial, mengejawantah dalam berbagai program yang dilakukan pemerintah kita dan pemerintah negara lain.Â
Semoga semua pihak ikut mendukung upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hoax dan bahayanya. Dan semoga internet benar-benar lebih banyak membawa manfaat dan kebaikan bagi kehidupan manusia di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H