Bahkan saya menyaksikan teman saya sendiri saat kelas II SMA menikah dengan sesama anak SMA dari sekolah lain. Itu dilakukan tanpa sepengetahuan orangtua serta keluarga, karena bila diberitahukan tentu dicegah. Â Di sini saya merasa sangat tidak cocok. Namun saya mengunci mulut saya atas nama solidaritas. Sementara kawan saya yang lain saat lulus sekolah rela menjadi isteri keempat pria yang dulunya ketua Rohis SMA sebelah.
Saya sendiri cukup imun untuk tidak terjerumus lebih dalam lagi ke dalam lingkaran keanehan itu, sebab sedari kecil saya sudah menerima ilmu agama secara rutin yang jauh berbeda pemahamannya dengan yang saya terima di pengajian SMA. Lagipula bagi saya orangtua dan keuarga adalah tempat pulang yang paling nyaman. Pesan orangtua adalah agar saya menuntut ilmu baik-baik di sekolah, dan saya akan menyesal bila mencederai amanah itu.
Ketika mendengar kasus Lestari yang memilih ikut Naim dibanding mendengarkan orangtua yang mengasuh, mencurahkan kasih sayang dan membiayai hidupnya sejak lahir, saya ingat kisah kawan SMA saya. Kadang saya menyesal mengapa waktu itu saya bungkam.Â
Benar kata kawan saya Aristiyani, remaja adalah sasaran empuk. Gampang sekali menggeret mereka kemanapun termasuk ikut dalam organisasi radikal, karena secara kejiwaan mereka masih sangat labil, ingin mencoba hal baru dan kemudian tanpa sadar sudah terlalu jauh berada di dalamnya, tanpa bisa keluar lagi.Â
Solo, 16 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H