[caption caption="Ignasius Jonan (Foto: sp.beritasatu.com)"][/caption]Jakarta di mata saya adalah macet, macet dan macet ditambah aneka moda transportasi yang ruwet mbulet membingungkan. Kehadiran sarana transportasi umum berbasis aplikasi sedikit melegakan hati. Dan untuk kali pertama saya pun merasakan jasa abang ojek berjaket hijau ketika pulang dari Kompasianival, Sabtu (12/12/2015).Â
Kompasianer Arif Lukman Hakim yang membantu saya menghubungi abang Gojek melalui aplikasi yang sudah ditanam di ponsel pintar miliknya. Tak lama, sangat praktis dan tidak ribet, si abang tiba. Kami pun menembus kemacetan Jakarta di malam Minggu, dari Gandaria City Mall menuju Stasiun Senen. Saya puas.Â
Baru beberapa hari berselang sejak Kompasianival, berita mengejutkan datang dari Menteri Jonan. Dia melarang abang-abang ojek berbasis aplikasi termasuk Gojek, Grab Bike maupun ojek pangkalan, dan juga uber taksi, karena tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan. Regulasi menyebutkan ketentuan angkutan umum harus minimal beroda tiga, berbadan hukum dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum.
Kurang dari 24 jam berselang, Presiden menganulir larangan itu. Presiden Jokowi menyatakan dan membiarkan mereka tetap beroperasi karena kehadirannya sangat membantu dan dibutuhkan masyarakat. Respons, spontanitas dan speed kerja Presiden sekarang memang keren. Sama halnya ketika kawan mantan BMI HongKong, Fera Nuraini melaporkan ketidakberesan kerja pemerintah yg dialaminy, beberapa jam sepulang dari istana usdah ditelepon sama Kemenlu.
Dan ketika Pak Jonan lagi sok saklek menerapkan regulasi sehingga membuat medsos bergejolak membela abang ojek, belum sempat banyak tulisan blogger soal kasus ini, kebijakan sudah dianulir. Kalau Presiden berbuat semua itu semata buat pencitraan (seperti dituduhkan para pembenci), rasanya terlalu naif dan jelas melelahkan. Bukan cara Jokowi menjatuhkan martabat menterinya sendiri demi kepentingan diri.
Pada satu sisi, sebenarnya yang terpikir di benak saya adalah Menteri Jonan lagi meniru gaya Jokowi i"nabok nyilih tangan" (istilah Jawa yang artinya memukul dengan tangan orang lain). Ingat waktu Presiden menaikkan tunjangan uang muka mobil DPR? Dia sengaja meneken dan membuat rakyat marah. Setelah rakyat marah, mau tidak mau tunjangan batal dinaikkan karena Dewan juga tak ingin kehilangan muka di mata pemilihnya.
Nah, Menteri Jonan meniru gaya Presiden Jokowi. Jonan sengaja melakukan itu dan sadar akan membuat gejolak, sekaligus sadar sesadar-sadarnya apa yang dilakukannya akan dianulir oleh Presiden. Misinya adalah:
1. Menyadarkan masyarakat bahwa di negara ini terdapat sejumlah regulasi yg sudah ketinggalan zaman. Siapa yang bikin UU? Presiden dan DPR. Lha yang bikin UU No 22 tahun 2009 siapa? Presiden sebelum Jokowi dan DPR periode sebelumnya. Kalau ada caci maki untuk Jonan, itu salah alamat. Caci maki itu mestinya untuk pembuat UU-nya. Tapi hanya orang cerdas yang berpikir sampai sini.
2. Jonan tidak mau dong disalahkan ketika ada moda transportasi sangat dibutuhkan masyarakat, namun sebenarnya menyalahi aturan. Dengan melakukan pembiaran, jelas dia bersalah dan bisa dimasalahkan. Negara hukum harus taat pada hukum, right?
3. Membuat presiden harus turun tangan sesuai kewenangannya sebagai pembuat kebijakan, dan selamatlah Jonan dari pembiaran atas berlangsungnya bisnis transportasi yang menyalahi regulasi
4. Mendesak dibuat dan diberlakukannya regulasi baru yang sesuai dengan tuntutan di masyarakat