Mohon tunggu...
Niken Satyawati
Niken Satyawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ibu biasa

Ibu 4 anak, tinggal di Solo. Memimpikan SEMUA anak Indonesia mendapat pendidikan layak: bisa sekolah dan kuliah dengan murah. Berharap semua warga Indonesia mendapat penghidupan layak: jaminan sosial dan kesehatan. TANPA KECUALI. Karena begitulah amanat Undang Undang Dasar 1945.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Membongkar Pos Polisi, Gebrakan Akhir Tahun Kapolda Jateng

29 Desember 2012   05:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:52 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_232058" align="aligncenter" width="454" caption="Irjen Pol Didiek S Triwidodo. (foto dari www.antarajateng.com)"][/caption] Bila sastrawan AA Navis terkenal dengan novel "Robohnya Surau Kami", maka di akhir tahun 2012 ini Kapolda Jateng Irjen Pol Didiek S Triwidodo melambung dengan pameo "Robohnya Pospam Kami". Perintah merobohkan pos polisi atau pos pengamanan (Pospam) yang ada di perempatan-perempatan atau pertigaan khususnya yang sudah dilengkapi traffic light, adalah gebrakan kali kedua Kapolda sepanjang 2012 yang sangat inspiratif dan pantas diapresiasi secara luas. Alasannya, dibanding dengan kegunaannya sesuai nama yang disandang yaitu "pos pengamanan" yang seharusnya mengamankan jalan, kenyataan yang ada pospam selama ini lebih dikenal sebagai "Pos 86". Para petugasnya bukan lebih sering mengamankan jalan, melainkan menjebak para pengguna jalan dan menggiringnya ke pos tersebut untuk diajak bertransaksi "berdamai", tentu dengan embel-embel uang di baliknya. Dengan kata lain pospam tak lebih menjadi ajang bagi polisi untuk melakukan prakting pungutan liar alias pungli. Memang Kapolda tidak mengada-ada. Kenyataan bicara, tugas mengamankan setiap perempatan atau jalur yang ramai, selama ini lebih banyak dilakukan para sukarelawan pengatur lalu lintas (supeltas), yang sedihnya juga disebut Pak Ogah karena mereka memang kadang menerima uang recehan dari para pengendara motor atau mobil yang baik hati, setelah ditolong dibukakan jalan sehingga kenadraannya bisa lewat.  Mereka ini jugalah yang setiap pagi dan sore menolong para buruh termasuk saya  di jalur-jalur padat. Sementara para Supeltas ini mengatur lalu lintas, para petugas polisi yang sebenarnya bukannya ikut mengamankan, malah kadang hanya duduk-duduk di pospam, sibuk membuat surat tilang bagi pengendara yang ketahuan melanggar, atau bahkan tidak terlihat sama sekali di jam-jam padat, dan membiarkan pospam kosong melompong.Malah kalau Anda pernah melewati jalur Solo-Semarang, di jalan yang meliuak di Ampel, Boyolali ada beberapa polisi yang bergantian bersembunyi di balik bukit, menunggu kendaraan yang lewat melanggar  marka jalan. Setelah itu mereka akan mengejar dan menilang kendaraan itu. Tentu daripada mengikuti persidangan, akhirnya orang akan memilih "86" dengan menyerahkan sejumlah uang ke kantong polisi itu. Bentuk transaksi-transaksi illegal ini yang sangat tidak dikehendaki oleh Kapolda. Sehingga saya kira perintah  Kapolda untuk merobohkan pospam-pospam ini pantas didukung. Sebelumnya pada awal tahun 2012, Didiek mempunyai kebijakan sesuatu yang juga kontroversial, yaitu pelarangan razia kendaraan secara massal, di seantero Jawa Tengah. Ya tentu saja karena selama ini razia lebih dikenal sebagai sarana bagi polisi untuk "kejar setoran" kepada atasan.Dengan melarang razia, diharapkan polisi lalu lintas hanya fokus pada pengamanan jalan raya dan pengendara kendaraan yang benar-benar melanggar lalu lintas sehingga merugikan pengendara lainnya. Memang razia massal seakan hilang seiring dengan adanya larangan itu. Namun pada akhir tahun ini, ternyata muncul lagi. Bukan di hanya di jalan-jalan raya, tapi malah meluas hingga menjadi agenda rutin di jalan-jalan desa. Sementara perintah untuk membongkar pospam langsung ditanggapi nyinyir oleh sejumlah pejabat polisi di tingkat bawah. Misalnya Kapolresta Solo, Kombes Pol Asjima'in, yang di media bicara, tak akan begitu saja membongkar pospam. Alasannya untuk tak langsung mengindahkan perintah Kapolda adalah bahwa kebijakan itu sejatinya perlu dianalisis lebih lanjut. Dan pada sati sisi pospam berguna sebagai tempat singgah bagi petugas. Masuk akal juga. Namun demikian tekad Didiek untuk membersihkan jajarannya dari praktik korupsi dan pungli tetap harus diacungi jempol. Jarang-jarang lho ada polisi yang punya mentalitas seperti Om Didiek S Triwidodo ini. Bahkan mungkin dengan keberadaan Om Didiek, kini polisi jujur tak hanya ada 3, melainkan 4, yaitu: polisi tidur, patung polisi, almarhum Hoegeng dan Kapolda Jateng Didiek S Triwidodo. Oiya, tambah satu lagi: kompasianer Thamrin Dahlan. :D Membersihkan institusi Polri dari hal-hal yang berbau korupsi, memang tak semudah membalik telapak tangan. Solo, 29-12-2012

13567599171940834456
13567599171940834456

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun