Tepat di Hari Buruh, 1 Mei 2013 atau setahun yang lalu, saya menghadap atasan langsung yang juga pimpinan tertinggi di kantor tempat saya bekerja selama kurang lebih 15 tahun lebih, bahkan hampir 16 tahun. Setelah sempat maju-mundur beberapa kali, akhirnya saya putuskan untuk melepaskan status sebagai buruh.
Dengan mengucap Bismillah saya membulatkan keputusan, walau sebenarnya tak pernah siap 100%. Bagaimana akan siap, bila kantor telah menjadi rumah kedua bagi saya selama belasan tahun. Perusahaan itu adalah perusahaan pertama dan satu-satunya tempat saya pernah bekerja. Rekan kerja telah berubah menjadi saudara. Ruang kerja penuh dengan barang-barang pribadi. Contohnya ketika berkemas saya harus membawa pulang 7 pasang alas kaki, beberapa tas dan barang-barang aneh bin ajaib yang terselip di antara peralatan kerja.
Walau sudah terbetik keinginan mundur beberapa kali, saya tak kunjung mengambil keputusan karena takut, bagaimana kalau saya tak punya penghasilan sendiri, tentu tidak leluasa kalau harus minta sama suami untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi dll. Saya sudah terbiasa mandiri dalam hal keuangan. Haruskah minta suami untuk membeli tas dan sepatu saya sendiri? Lagian apakah saya akan siap dengan status pengangguran setelah belasan tahun bekerja? Bagaimana kalau penghasilan suami tidak cukup? Bagaimana kalau terjadi hal-hal buruk yang tak diperkirakan sebagai dampak saya tidak bekerja lagi?
Bayangan dan ketakutan itu selalu menghantui. Namun saya mencoba menepis, dengan mengingat bahwa saya punya Tuhan. Saya akan menjadikan Tuhan sebagai penolong bila ada kesulitan. Berbagai pertimbangan juga telah membuat saya akhirnya berani mengambil keputusan itu. Pertimbangan utama adalah anak-anak yang membutuhkan saya. Anak sulung yang beranjak dewasa dan anak terkecil yang masih bayi yang sering saya tinggalkan, bahkan kadang saat dia lagi sakit. Kejenuhan dan semangat kerja yang berangsur hilang sejak beberapa tahun terakhir memberi dorongan tersendiri untuk meninggalkan perusahaan.
Satu bulan setelah saya mengajukan surat pengunduran diri, saya resmi berstatus pengangguran. Saya tak lagi berangkat ke kantor sejak itu. Saya mengucapkan selamat tinggal pada rutinitas pagi di mana saya harus menyiapkan banyak hal lalu melewati rute yang sama menuju tempat kerja. Selamat tinggal juga seragam-seragam kantor. Selamat tinggal juga pada hal yang cukup penting: upah bulanan berikut berbagai fasilitas penunjang operasional pekerjaan yang saya terima. Rasanya ada yang hilang.
Rasa kehilangan itu cukup signifikan pada awalnya, namun berangsur-angsur saya terbiasa.Sejujurnya pada satu bulan pertama saya sering teringat hal yang biasa saya lakukan di kantor. Bahkan itu terbawa mimpi. Namun bayangan dan mimpi itu makin jarang terjadi dan hilang sendiri.
Hari-hari pertama di rumah, saya cukup sibuk. Saya langsung menutup kartu kredit atas nama saya yang sudah 10-an tahun saya pakai. Saya juga mengurus klaim tunjangan hari tua dari perusahaan asuransi. Sejumlah dana yang saya dapatkan seperti JHT ditambah dana penghargaan dari perusahaan saya pakai sebagian untuk membayar kursi haji, walau harus rela menjalani masa tunggu 13 tahun. Sebagian lain saya pakai untuk modal usaha kecil-kecilan, sebagian untuk kebutuhan "penyesuaian" di masa transisi dan sisanya saya tabung.
Saya bukan sama sekali menganggur. Sebab teman yang mendengar saya mengundurkan diri dari perusahaan, langsung meminta saya membantu mengajar di sebuah perguruan tinggi, sebagai dosen tidak tetap. Saya hanya mengajar 2-3 kali satu pekan, tak sampai 2 jam sekali pertemuan. Sehingga tidak menyita waktu seperti orang kerja kantoran.Walau penghasilannya tidak seberapa, saya bersyukur karena diberi kepercayaan dan kesempatan menularkan ilmu. Kawan lain yang mengetahui kemampuan dan kualifikasi saya meminta saya menyunting artikel di blognya, dan menjadikannya sebagai draft buku. Saya juga diminta mengedit bahasanya. Cukup lumayan bayarannya.
Saya kini lebih bahagia bisa mengantar dan menjemput sendiri anak-anak saya, di mana selama ini saya mempercayakan pekerjaan itu pada penyedia jasa antar-jemput anak sekolah. Sepulang sekolah kami kadang mampir berbelanja atau ke tempat lain. Kebersamaan yang menyenangkan. Bulan-bulan berikutnya, saya makin menikmati status sebagai ibu rumah tangga.Suami menjadi lebih tenang bekerja karena anak-anak ada di tangan orang yang paling tepat.
Saya tak melewatkan kesempatan ketika diajak bergabung dengan ibu-ibu pengajian tafsir Alquran tiap pekan sekali-- hal penting yang mustahil saya lakukan bila saya bekerja. Saya makin sadar bahwa banyak hal yang saya lewatkan selama belasan tahun ini. Saya pun menerima tawaran menjadi pengurus komite sekolah di mana anak saya menuntut ilmu. Di sela-sela mengurus rumah dan anak, saya sempatkan mengurusi bisnis kecil-kecilan yang Alhamdulillah ada hasilnya. Tidak seberapa juga, namun saya syukuri.
Satu tahun berlalu. Ketakutan dan bayangan buruk yang semula menghantui tidak terjadi, walau otomatis kami sekarang hanya mengandalkan satu sumber, hanya dari suami. Subhanallah, kami dicukupkan. Bahkan bisa saya bilang, rezeki lebih lancar. Mungkin ini yang namanya berkah. Hingga kami bisa memperbaiki rumah yang selama ini tertunda-tunda karena tidak kunjung ada dana yang parkir.
Saya tidak tahu apakah bila anak-anak beranjak besar dan tidak terlalu butuh keberadaan ibunya lagi, saya akan berpikir ulang untuk bekerja lagi. Saat ini saya terlalu sibuk menjadi ibu rumah tangga. Biar hal itu saya pikirkan lagi nanti...
Solo, menjelang Hari Buruh 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H