Penantian sejak sore hari akhirnya terbayarkan. Prosesi yang ditunggu selama 1 tahun datang juga. Kirab ogoh-ogoh menyambut datangnya hari raya Nyepi.
Kegiatan tahunan ini sangat ditunggu oleh masyarakat Desa Grajagan. Desa yang sarat dengan tingkat toleransi yang tinggi. Seyiao kegiatan keagamaan apapun itu selalu melibatkan umat dari semua agama yang ada di desa ini.Â
Ketika kirab ogoh-ogoh mulai berjalan pata petugaa kemanan dari pemuda berbagai agama sudah siap di jalan-jalan untuk mengatur lalu lintas bahkan mengamankan jalur yang akan dilalui oleh umat hindu yang sedang berkegiatan.
Tidak hanya itu, persiapan ogoh-ogoh pun dibantu oleh mereka. Rasa saling inilah yang menghadirkan kerukunan di desa yang terletak di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi ini.
Setiap ada kegiatan keagamann apapun selalu terjadi proses kerjasama yang baik dari umat Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katholik. Mereka guyub rukun bahu membahu mensukseskan dan mengamankan acara tersebut.
Ogoh-Ogoh berasal dari kata ogah-ogah yang  merupakan Bahasa Bali dengan makna sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh sendiri direpresentasikan sebagai Bhuta Kala atau raksasa. Dalam bentuk patung, Ogoh-ogoh umumnya digambarkan sebagai sosok besar yang menyeramkan. (Dari berbagai sumber)
Malam ini di Desa Grajagan yang memiliki 2 Pura (tempat ibadah orang Hindu) sudah riuh sejak senja. Bunyi gamelan khas unat Hindu sudah terdengar bersahutan. Di Lapangan Desa sudah dipenuhi dengan umat Hindu yang membawa beberapa buah ogoh-ogoh, satu liong liong dari umat Budha dan para penonton yang turut memadati jalan seputar lapangan desa.
Akhirnya boneka besar berbentuk kala itu diarak keliling jalan besar desa. Tak lupa Bapak kepala desa memberikan sambutan sebagai apreasiasi dan dukungan kepada umat Hindu yang akan menyambut Hari Raya Nyepi. Atraksi demi atraksi dilakukan di pusat desa yaitu jalan pertigaan pasar desa. Letusan kembang api, goyangan ogoh-ogoh yang diiringi musik bali menghadirkan suasana damai dan tentram.
Setelahnya ogoh-ogoh pun dibawa ke dua Pura untuk kemudian dibakar yang menandai dibakarnya atau dihanguskannya dan dihilangkannya sifat-sifat buruk dan angkara murka. Inilah hakikat dari nyepi.Â
Perayaan Nyepi dilaksanakan selama 24 jam, tepatnya mulai Matahari terbit sekitar pukul 06.00 hingga keesokan harinya pukul 06.00. Umat Hindu akan melakukan puasa bahkan tidak boleh menyalan api atau cahaya. Meskipun tidak seriuh dan serame di Pulau Bali namun kegiatan ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat di Desa Grajagan Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi.
Sikap gotong royong dan toleransi yang tinggi inilah yang patut dilestarikan dan dijaga. Jika hal ini bisa terjadi diseluruh wikayah negeri ini pastilah tidak akan ada lagi keributan yang menggunakan agama sebagai pemicunya. Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua. Semboyan yang sudah membuktikan kedigdayaannya sejak jaman Kerajaan Majapahit. Mari tetap digemakan, kita ini berbeda beda tetapi tetaplah menjadi satu, Indonesia. Kalau bukan kita yang menjaganya, SIAPA LAGI?. SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA NYEPI, TAHUN BARU CAKA 1946.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H