Keputusan untuk memakai baju adat bagi para guru, menuai perdebatan. Ya, demi sebuah kata "Nasionalisme" yang semakin memudar, sekolah kami memutuskan untuk memakai baju adat setiap Hari Rabu.
Penerapan keputusan ini diawali bagi para guru. Menyusul kemudian bagi murid-murid. Wajah tak nyaman lantas muncul. Keberatan paling besar datang dari guru-guru perempuan. Berpuluh alasan dilontarkan.Â
"Ribet, ah."
"Pasti panas."
"Aduh, gak bebas, jalan kesana kemari."
Hmm, itulah suasana setiap ada perubahan. Ada pro dan kontra. Ada yang setuju dan tidak. Itu hal yang lumrah.
Terjadilah seperti yang di tetapkan. Berpakaian adat pada Hari Rabu, itu artinya kami kaum perempuan harus berkebaya.
Perempuan jugalah yang akhirnya heboh. Meski awalnya terlihat ogah dan berat, kami para perempuan ini tetap berusaha tempil cantik. Menyiapkan kebaya tercantik yang dimiliki bahkan menyempatkan membeli nya demi terlihat asik dan menawan. Setidaknya tampil menawan di hadapan para murid.Â
Sesuatu yang special bagi yang hadir pagi itu. Bapak ibu guru berpakaian "cantik" dan "Aneh". Aneh, karena tidak biasa. Wali murid pun bertanya dalam keheranan.Â
"Ada apa koq memakai baju seperti ini?" Kami pun menjelaskan secara singkat alasan mengapa kami berpakaian berbeda dari biasanya.
Perempuan yang hidup di jaman mileneal harus berkebaya. Awalnya memang ribet. REMPONG, kata sebagian orang. Bagaimana tidak, kami yang biasanya memakai celana panjang dengan nyaman mengendarai motor.