Mohon tunggu...
NikenDe
NikenDe Mohon Tunggu... Guru - Vinsensia Niken Devi Intan Sari

Lahir di sebuah desa yang terletak ditengah hutan jati. Desa tersebut berada di wilayah kabupaten Banyuwangi. Daerah yang terlanjur terkenal kembali dengan sebutan Desa Penari. Niken kecil hidup diantara orang tua yang berprofesi sebagai guru. Guru jaman OLD. Dengan segala kekurangannya, namun tetap dan terus mensyukuri dan menyemangati anak-anaknya untuk berpendidikan tinggi. Dengan satu semboyan Ajaib dari mereka bahwa "Pasti ada jalan jika itu untuk biaya pendidikan." That is TRUE. Benarlah adanya. Kami, anak-anak guru SD di sebuah desa kecil tersebut mampu melanjutkan sekolah sampai lulus Sarjana. Mimpi Bapak Ibu terkabul. Hobi menulis menjadi sebuah kegiatan yang selalu memhadirkan CANDU. Menekuninya menghadirkan kegembiraan tersendiri. Semoga menjadikan manfaat bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Membaca Senyap, Merangsang Anak Melek Litarasi

18 Oktober 2019   14:36 Diperbarui: 19 Oktober 2019   19:27 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku cerita menjadi media bagi anak-anak agar suka membaca. (dok. pribadi)

Menjadi seorang guru SD di jaman milenial memang gampang-gampang susah. Guru SD saat ini dituntut bisa segala. 

Semua mata pelajaran yang ada di SD harus dikuasai, mulai bahasa indonesia, PPKn, IPA, IPS , SBdP (Seni Budaya dan Prakarya) dan matematika. Itulah alasan mengapa guru SD harus berpendidikan PGSD. 

Pemerintah pun melalui dinas pendidikan setempat menyediakan pendidikan linierisasi bagi guru-guru yang belum memiliki ijasah PGSD (Pendidikan Guru SD). 

Guru adalah sosok yang dianggap serba bisa. Bisa menyelesaikan setiap masalah yang berkaitan dengan materi pembelajaran ataupun masalah sikap dan kepribadian anak di kelas. Tugas berat yang harus disyukuri karena menjadi guru SD adalah profesi yang mulia. Ya, mulia, jika kita mampu menajlankan kewajiban kita dengan baik.

Sebagai seorang sarjana bahasa indonesia dari Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), memang memiliki sedikit kelebihan di bidang bahasa indonesia. 

Hal itu karena selama 4 tahun bergelut dengan ilmu kebahasaan, baik sastra ataupun linguistik. Modal ini membuatku sering GEMES dan geleng kepala melihat kemampuan dan ketrampilan berbahasa anak-anak jaman sekarang.

Berbagai metode harus dilakukan untuk membuat mereka mampu berbahasa dengan baik. Diawali dengan mengenalkan anak pada kata dan kalimat. 

Mengajarkan cara membuat kalimat yang baik dan benar tidak mudah. Padahal menyusun kata menjadi kalimat merupakan pelajaran dasar bahasa indonesia. Sejak kelas 1 anak sudah dilatih membuat kalimat sederhana. Misalnya:

1. Aku memakai topi.
2. Adik tidur di kamar.
3. Ibu membeli baju.

Nah, ternyata dasar ini menjadi temaram lantas gelap, artinya pada jenjang berikutnya sebagian dari mereka harus diberi pemahaman lagi.

Ada lagi beberapa anak yang terbiasa menulis kata dengan salah. Misalnya:

1.  Aku duduk di bawa pohon mangga. (harusnya Aku duduk di bawah pohon mangga)

2. Tanteku masih sangat mudah ketika menjadi sarjana. (Harusnya Tanteku masih sangat muda ketika menjadi sarjana.)

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya hanya satu. mereka kurang berlatih dan tidak memiliki cukup referensi dalam berbahasa, baik secara lisan atau tulisan.

Sebagai guru yang pernah memegang mata pelajaran bahasa indonesia, sebelum dicanangkan Kurikulum 13, saya merasa sangat miris. 

Belum lagi jika melihat dari sisi pendidiknya (para guru), ternyata begitu banyak yang tidak mampu menjadi teladan bagi para murid untuk berbahasa dengan baik dan benar.

Pencanangan gerakan literasi di setiap sekolah memang diharapkan mampu meningkatkan minat baca dan tulis tidak hanya bagi murid tetapi juga gurunya. 

Literasi memang tidak sebatas pada kemampuan menulis dan berbicara dengan baik dan benar, namun setidaknya kemampuan itu menjadi dasar untuk merambah pengembangan konsep literasi yang lain.

Apa yang dilakukan di kelas untuk mengatasi kurangnya minat baca pada murid?

Anak-anak membaca senyap sebelum pulang sekolah, dokpri
Anak-anak membaca senyap sebelum pulang sekolah, dokpri

Aku sengaja memboyong majalah "Bobo" bekas. Di rumahku berlangganan "Bobo". Mulai anak-anakku bisa membaca kami membiasakan mereka membaca, maka kami memilih "Bobo". 

Majalah legendaris dalam keluargaku. Di sekolah memang berlangganan "Bobo" namun pasti tidak mencukupi untuk seluruh siswa. Bobo itu aku letakkan di kelas dan anak-anak bebas membaca bahkan yang membawa pulang juga boleh.Kami memiliki catatan untuk yang meminjam. 

Sekarang yang kubawa ke sekolah bukan Bobo lagi tetapi buku cerita KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) ke sekolah . KKPK itu koleksi anak yang memang hobi membaca novel dan memiliki koleksi yang lumayan banyak. 

Anakku bahkan rela menabung untuk mendapatkan beberapa novel incarannya. Buku cerita itu menjadi pengisi Pojok Baca atau Perpustakaan kelas yang memang harus dimiliki tiap kelas di sekolah kami. Anak-anak memilik jadwal baca sehingga mereka bisa bergantian menyelesaikan tugas bacanya.

Kini setiap 10 menit menjelang pulang sekolah, anak-anak sudah terbiasa mengambil buku yang menjadi jatah bacanya. Jam Membaca Senyap ini merupakan jadwal kegiatan literasi di luar yang dicanangkan sekolah. 

Ini adalah jadwal di kelasku. Anak-anak membaca, aku pun membaca. Aku berharap dengan semakin banyak membaca, murid-muridku lantas lancar dan terampil menulis.

Aku bermimpi salah satu atau beberapa dari mereka mampu seperti Tere Lie, Andrea Hirata, atau Pramoedya Ananta Toer. Aku bermimpi mereka mampu menghasilkan karya seindah goresan pena R.D. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Dipl.Ing. atau yang lebih dikenal RM Mangunwijaya dengan "Burung-Burung Manyar" bahkan beberapa kali aku baca.  

Seperti juga aku selalu senang membaca Laskar Pelangi nya Andrea Hirata. Itu mimpiku, mimpi seorang guru bagi murid-muridnya. Semoga menjadi mimpi yang memotivasi mereka. Amin.

Mari budayakan membaca karena membaca adalah jendela dunia. Mari mulai menulis karena tajamnya pena membuat para tirani bersembunyi ketakutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun