Mohon tunggu...
niken nawang sari
niken nawang sari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga. Kadang nulis juga di www.nickenblackcat.com

Ibu Rumah Tangga yang suka jalan-jalan ke bangunan kolonial, suka menulis hal berbau sejarah, dan suka di demo 2 ekor kucing. Blog pribadi www.nickenblackcat.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Culture Shock Saat Pindah ke Cikarang

11 Januari 2022   12:13 Diperbarui: 11 Januari 2022   14:47 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pindah ke tempat baru terkadang menimbulkan kekagetan karena banyaknya perbedaan dari tempat lama. Rasa kaget ini sering dikenal dengan nama Culture Shock atau Gegar Budaya. 

Dilansir dari Wikipedia, Culture shock adalah sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan kegelisahan yang dirasakan seseorang saat tinggal dalam kebudayaan yang sangat berbeda.


Saat aku memutuskan untuk pindah rumah dari Jogja ke Cikarang, aku pikir tidak akan mengalami culture shock. Hal ini karena aku pernah ikut merantau di tanah sunda dan sebelum pindah juga sudah diberi gambaran keadaan lingkungan sekitar tempat tinggal oleh Kanjeng Papi.

Namun kenyataanya, aku tetap saja  mengalami beberapa culture shock berikut ini.


Buta Arah


Waktu pertama kali menginjakkan kaki di Cikarang, aku sudah merasa rumit dengan jalanan yang dilalui menuju rumah. Nah saat sudah sampai rumah, aku tidak tau arah kiblat. Jadi saat mau sholat harus tanya arah kiblat ke Kanjeng Papi atau pakai kompas yang ada di smartphone.


Disini tidak ada lagi istilah kulon-wetan seperti di Jogja, tapi adanya kanan kiri yang tentu saja membuatku garuk-garuk kepala karena terasa sangat rumit. Bahkan sampai sekarang aku tidak tau rumah yang aku tempati ini menghadap ke arah mana.


Jalanan Umum yang Berlubang


Salah satu yang bikin aku males untuk sekedar keluar rumah adalah jalanan yang berlubang. Jalan di depan perumahan bahkan lubangnya cukup dalam, jadi kalau mau nyebrang untuk ke warung sayuran aja udah males duluan daripada nanti kena cipratan air dari lubang tersebut. Apalagi kalau habis hujan, mendingan nggak jadi keluar rumah daripada emosi di jalan.


Waktu pertama kali diajak melewati Kawasan industri Hyundai oleh Kanjeng Papi, aku sempat terkaget-kaget dengan jalan berlubang di depan sebuah apartemen expatriat. 

 Aku hanya bisa mbatin, "oalah Kawasan industri aja jalannya kayak gini, apalagi jalanan umum menuju rumah".


Transportasi Umum Terbatas


Sebagai orang yang suka nyobain alat transportasi umum, disini aku merasa bener-bener stuck. Ya gimana nggak stuck, transportasi umum paling dekat rumah itu hanya angkot. 

Buat naik angkot saja nyaliku sudah ciut. Apalagi ditambah cerita dari Kanjeng Papi kalau atasannya yang orang Jepang pernah di-thuthuk naik angkot. 

Ceritanya si Jepang ini mau ke kantor dan menunggu angkutan umum di halte. Kemudian ada angkot berhenti, si Jepang menunjukkan peta menuju kantornya dan oknum supir mengiyakan saja padahal bukan trayeknya. Alhasil si Jepang diantar ke kantor dengan biaya dua ratus ribu rupiah naik angkot. Wow!!

Dalam hati aku bayangin kalo jadi si Jepang pasti keselnya minta ampun. 

Aku jadi merasa bersyukur banget dulu waktu di Bandung tuh kalau nanya alamat ke supir angkot selalu dijawab dengan jujur dan santun. 


Terus disini tuh kalau mau mencoba bus umum dengan pelayanan standar seperti AC gitu juga adanya cuma di Kawasan Lippo, yang jaraknya sekitar 5km dari rumah. 

Makannya waktu si kecil bilang pengen naik bus umum yang seperti Tayo, aku merasa sedih. Soalnya mau naik bus umum juga jauh dari rumah dan tidak ada tempat yang ingin dituju. 


Nah kalau mau menggunakan jasa kereta api pun harus menempuh jarak ke stasiun Cikarang sekitar 21km. Ya rasanya udah capek duluan sebelum naik kereta. Ditambah banyaknya jalan berlubang yang harus dilalui, aduh harus mempersiapkan hati dan pikiran saat akan bepergian.


Mau pakai transportasi online pun harus siap dengan jalanan berlubang yang nggak bisa dihindari. Disini emang paling enak tuh kalau ada kendaraan sendiri, tapi nggak enaknya tentu jadi banyak pengeluaran.


Pesawat? Wis nggak usah mimpi lah. Disini, di planet Cikarang tentu saja jauh dari bandara. Kalau mau naik pesawat harus ke Jakarta dulu. 


Perumahan Masuk ke Pelosok Desa


Dulu waktu masih tinggal di Jogja, ibuku merasa heran dengan perumahan tempat tinggalku ada di dalam desa. Mungkin kalau ibuku berkunjung kesini, beliau akan lebih terheran-heran lagi dengan banyaknya perumahan yang  masuk ke dalam pelosok desa. Lha wong aku aja heran kok bisa perumahannya masuk banget ke pelosok.

 Mungkin karena saking banyaknya orang yang butuh rumah, jadi tanah desa dan perbukitan dibangun buat perumahan.


"Omah nang Bandung kae wae wis pelosok, tapi isih iso mlaku tekan dalan gedhe nggo numpak angkot. Nang kene luwih mblasuk meneh Bu", jawabku saat ibu menanyakan letak tempat tinggalku di Cikarang. 

(Rumah di Bandung aja sudah di pelosok, tapi masih bisa jalan kaki ke jalan besar untuk naik angkot. Disini lebih pelosok lagi Bu)


Cuaca Panas dan Berdebu


Sebagai daerah industri, cuaca panas di planet Cikarang emang bukan hal baru lagi. Waktu pertama kali tinggal disini, aku lebih sering mandi karena cuaca terasa sangat panas. Tapi untungnya aku nggak sampai mengalami mimisan seperti waktu kecil. 

Dulu aku pernah mengalami mimisan parah ketika tinggal di Jogja karena suhu rata-rata lebih panas daripada di Bandung. Beruntung sekali sekarang nggak mimisan.


Selain cuaca panas, disini juga banyak debu beterbangan yang bikin upilan. Serius! Disini aku jadi lebih sering upilan. Jadi kalau keluar rumah selalu pakai masker.


Cikarang Lebih Mirip Jakarta


Mungkin karena letaknya lebih dekat dengan Jakarta, tinggal di Cikarang terasa lebih mirip dengan Jakarta. Di Cikarang juga banyak banget pendatang kayak Jakarta. 

Belum lagi permasalahan klasik kota besar pada umumnya seperti kemacetan yang udah jadi makanan sehari-hari. Wis lah banyak-banyak sabar aja kalau tinggal disini.


Tidak Banyak yang Pakai Bahasa Sunda


Bahasa Sunda bukan jadi masalah buat aku, karena kalau sekedar bicara sehari-hari aku masih mengingatnya. Tapi disini tidak banyak yang pakai bahasa sunda dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin hal ini karena sudah banyak pendatang yang membawa bahasa mereka masing-masing.


Pernah suatu saat aku memanggil penjual peuyeum di depan rumah. Karena biasanya yang jualan peuyeum ini orang sunda, aku coba gunakan bahasa sunda sebaik mungkin. Disini mamang peuyeum justru kaget karena bahasa sundaku terlihat lebih halus daripada yang dia gunakan. 

Setelah aku cerita bahwa aku pernah tinggal di Bandung, Mamang Peyeum berkomentar,"oh pantes atuh sundana oge alus, beda jeung didieu. Lamun didieu mah lewih kasar". 

(Oh pantes bahasa sundanya halus, beda sama disini. Kalau disini sundanya lebih kasar)

Inilah beberapa culture shock yang pernah aku alami ketika pindah tempat tinggal ke Cikarang. Sampai sekarang aku masih mencoba beradaptasi dengan keadaan sekitar agar culture shock ini tidak menjadi penghambat untuk terus bertumbuh. 

Proses adaptasi tiap orang berbeda-beda dan aku masih menikmatinya sampai sekarang. Walaupun kalau rasa stuck itu memuncak, aku coba mengalihkan diri dengan belanja online.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun