Malam jumat itu seru kalau bercerita tentang yang nyerempet misteri dan horor gitu ya. Apalagi habis baca artikelnya teman yang bercerita pengalaman horornya, kan aku juga terpancing untuk ikut bercerita.
Pengalaman ini berdasarkan pengalaman pribadi yang masih tersusun rapi di kepalaku. Jadi boleh percaya, boleh juga tidak percaya, yang penting tidak menghujat.
Hutan tutupan, begitu nenek dan warga desa menyebutnya. Hutan ini merupakan hutang yang dimana warga tidak boleh menebang pohon sembarangan, tetapi lahannya boleh diolah menjadi lahan pertanian palawija tanpa menebang pohon-pohonnya.
Hutan tutupan secara administratif tidak masuk ke dalam desa tempat tinggal nenek, tetapi letaknya dekat dengan desa nenek dan sering dijadikan jalan pintas menuju pasar atau ibukota kabupaten. Sebenarnya ada jalan lain yang tidak perlu repot melewati hutan tutupan, tapi muter ke arah barat dan melewati jalanan di danau tadah hujan.
Pengalaman  Pertama Lewat Hutan Tutupan Bersama Teman dari Desa Lain
Waktu itu sudah hampir adzan magrib saat aku melalui hutan tutupan. Teringat pesan nenek untuk berdoa sebelum melewati hutan, kami pun merapalkan doa supaya perjalanan menuju rumah nenek lancar.
Ada tikungan yang dikenal dengan nama Lemah Abang (berarti Tanah Merah, karena disini banyak tanah liat berwarna merah), medannya berupa tikungan tajam lurus yang kalau salah nikung bisa jatuh ke jurang. Nah kebiasaan masyarakat desa saat lewat Lemah Abang adalah membunyikan klakson.
"Ojo lali diklakson ya," pesanku kepada teman saat akan melalui Lemah Abang.
Temanku tidak lupa membunyikan klakson, dan  aku tidak sengaja melihat ular panjang berwarna putih menyebrang jalan pas di tikungan Lemah Abang. Tapi aku tidak berani bercerita sebelum sampai di rumah nenek.
Akhirnya setelah sampai di rumah nenek, aku beranikan bercerita kepada nenek dan temanku tentang apa yang aku lihat.Â
"Aku mau yo weruh tapi aku meneng wae (aku tadi juga lihat tapi aku diem aja)", timpal temanku saat aku selesai bercerita.Â