Mendung bukan berarti hujan, begitu pula dengan mendung yang menghiasi langit kota gudeg. Hujan dini hari tadi masih menyisakan hawa sejuk di salah satu jalan penghubung kabupaten Gunung Kidul dengan kota Yogyakarta. Aktifitas penduduk sudah mulai mengeliat, terlihat dari arus menuju kota yang mulai ramai. Sementara itu, arus menuju kabupaten Gunung Kidul tidak seramai arus menuju kota. Mobil mulai melaju menapaki sebuah bukit yang dikenal dengan nama bukit Pathuk. Jalan berkelok yang tidak terlalu padat membuat mobil dengan mudahnya melewati bukit untuk melanjutkan perjalanan menuju desa Plembutan, kecamatan Playen, kabupaten Gunung Kidul.Â
Sesampainya di balai desa Plembutan, tidak ada mendung yang menggelayut di langit. Malah sebaliknya, sang surya memancarkan sinarnya dengan gembira. Jalanan menuju balai desa dihiasi oleh spanduk Temu Inklusi #3 dan raut wajah gembira terlihat di berbagai sudut balai desa Plembutan. Pada tanggal 24 oktober 2018, saya berkesempatan mengikuti acara Temu Inklusi 2018 yang diadakan di desa Plembutan, Playen, Gunung Kidul. Temu inklusi 2018 mengusung tema menuju Indonesia inklusi 2030 melalui inovasi kolaboratif. Acara ini diadakan sejak tanggal 22 Oktober 2018 dan akan berakhir pada tanggal 25 Oktober 2018. Temu inklusi merupakan event 2 tahunan yang diinisiasi oleh SIGAB, tujuannya adalah sebagai wadah para difabel berkolaborasi dan bertukar pikiran untuk Indonesia yang inklusif.Â
Difabel atau dikenal juga dengan istilah penyandang disabilitas menurut UU no 19 tahun 2011 penyandang disabilitas adalah mereka yang memilki kerusakan fisik, mental, intelektual atau sensorik jangka panjang yang dalam berinteraksi sebagai masayarakat memiliki berbagai hambatan. Bertemu dan berinteraksi dengan difabel merupakan sebuah pengalaman berharga. Namun untuk berinteraksi dengan difabel, kita harus mengetahui beberapa karakteristik difabel tersebut agar tidak miskom alias miss communication.Â
Nah bila dilihat dari sudut pandang agama, KH Imam Azis mengemukakan bahwa para difabel punya kewajiban dan hak yang sama dengan para muslim lainnya. Seperti untuk menunaikan ibadah di dalam masjid, difabel seharusnya bisa menunaikan ibadah tanpa hambatan. Tetapi pada kenyataanya belum banyak masjid yang ramah terhadap difabel. Oleh karena itu sosialisasi mengenai hal ini harus digalakkan kepada para pengurus masjid agar difabel mendapatkan haknya untuk beribadah di masjid.Â
Diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam ini berhasil membuat saya berdecak kagum. Cak Fu memandu acara sampai selesai secara profesional, dan peserta difabel juga antusias dengan cara aktif bertanya kepada narasumber. Selain Cak Fu, ada juga bu Kuni yang ikut melayani peserta diskusi pada saat presensi di meja registrasi tanpa hambatan apapun. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa difabel bisa melakukan sebuah pekerjaan secara profesional walaupun mereka memiliki keterbatasan.Â
Para difabel dengan segala keterbatasannya bisa tetap berkarya, oleh karena itu stigma-stigma negatif tentang difabel di masyarakat harus segera dihilangkan demi mewujudkan Indonesia Inklusi #IDinklusi. Para difabel merupakan bagian dari masyarakat kita yang tidak dapat dipisahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H