Dear Diary,
Kuingin cerita kepadamu
Tentangnya yang dulu singgah dihatiku
sejak itu hidupku jadi bahagia
karena dia slalu ada di hidupku (Ratu-Dear Diary)
Penggalan lagu milik ratu sepertinya cocok banget untuk ABG di era 2000an yang masih menuliskan sesuatu di buku Diary. Di tahun 2000-an media sosial masih terasa asing di telinga, masih jarang anak muda yang menggunakan media sosial. Apalagi bagi saya yang saat itu masih duduk di sekolah menengah yang jauh dari kota, satu-satunya tempat untuk curhat selain kepada sahabat ya hanya buku Diary.
Memiliki diary juga butuh perjuangan bagi saya, karena saya harus menyisihkan uang jajan sedikit demi sedikit untuk membeli buku diary yang diingkan. Biasanya sebelum membeli, saya dan teman-teman ngincer dulu buku diary yang akan dibeli di toko buku dekat sekolah. Selain itu saya biasanya membeli buku diary yang memiliki kunci agar lebih aman dari tangan-tangan jahil. Ketika ulang tahun, dapat kado buku diary itu rasanya sudah sangat bahagia.
Di dalam buku diary, biasanya saya menuliskan mengenai apa yang saya rasakan. Selain itu biasanya tersimpan beberapa surat dari sahabat dan cinta monyet yang menurut saya saat itu sangat berharga dan RAHASIA. Iya rahasia, pokoknya jangan sampai anggota keluarga lain tau apa saja yang ada di dalam buku diary.
Memiliki buku diary memang sangat membantu saya untuk mengungkapkan perasaan-perasaan saya alias curhat, karena saya jauh dari ibu maka memiliki banyak diary yang saya pikir suatu saat bisa saya perlihatkan kepada ibu. Selain itu, menuliskan sesuatu di dalam buku diary juga membuat pikiran saya slow dan otak tidak terasa lelah. Ditengah-tengah rasa sepi saat liburan kenaikan kelas, punya buku diary seolah memiliki teman curhat di rumah.
Tetapi ada masa dimana saya membakar semua buku diary yang saya miliki. Kira-kira 12tahun lalu saya membakarnya dikarenakan anggota keluarga tidak suka dengan tulisan saya. Tulisan tersebut sebenarnya berisi pendapat seorang anak sekolah menengah mengenai kedua orang tuanya menurut fakta yang dia hadapi.Â
Tetapi ternyata nenek, kakek dan om saya tidak menyukai pendapat itu dan malah melakukan "sidang terbuka" dengan saya sebagai terdakwa tanpa pembela di ruang keluarga. Merasa dipojokkan tanpa ditanya alasan logis mengapa saya menuliskan itu, saya akhirnya memutuskan membakar seluruh buku diary yang saya miliki dalam diam.