[caption caption="banjir di Dayeuhkolot"][/caption]
Dayeuhkolot merupakan kecamatan yang letaknya sangat strategis di kabupaten Bandung, kenapa saya saya bilang strategis? Karena kecamatan ini dilewati jalan provinsi dan banyak dilalui oleh kendaraan umum dari dan ke kota Bandung. Ketika saya pulang ke kecamatan ini biasanya naik angkot jurusan Kolot-Kalapa dari Terminal Kebon Kalapa dengan ongkos tidak lebih dari 6000 di tahun 2016, tapi bisa juga menggunakan alternatif angkot lain seperti jurusan ke Baleendah atau Ciparay karena angkot ini pasti lewat Dayeuhkolot.Â
Saya punya banyak kenangan masa kecil disini dan kecamatan ini pula yang memberikan kehidupan bagi banyak warga pendatang termasuk keluarga saya. Di kecamatan ini terletak banyak pabrik tekstil dan garmen sehingga banyak pendatang yang merantau ke tempat ini pada awal tahun 1980-an. Dayeuhkolot yang sekarang terkenal oleh banjirnya, tapi saya tidak akan membahas masalah banjir kali ini. Banjir yang setiap tahun pasti mampir ke kecamatan ini, tapi bagaimanapun keadaanya Dayeuhkolot sekarang, sebenarnya menyimpan sebuah sejarah besar, yang mungkin jarang sekali diketahui oleh kita.
Dayeuhkolot sebelumnya bernama Karapyak, hal ini dikarenakan banyaknya rakit-rakit penyebrangan yang terbuat dari bambu dan ada di sungai Citarum. Dayeuh berarti Kota dan Kolot berarti Tua jadi dapat disimpulkan arti Dayeuhkolot adalah Kota Tua. Sejarah kota Bandung pun tidak pernah lepas dari Dayeuhkolot dan keberadaan seorang bupati Bandung yaitu R.A Wiranatakusumah II yang akhirnya memutuskan untuk memindahkan pendoponya ke tepi sungai Cikapundung. Sebelum dipindahkan ke tepi sungai Cikapundung, Karapyak ini merupakan kediaman bupati Bandung mulai dari bupati pertama yaitu Tumenggung Wira Angun-Angun (1641-1681),
 Tumenggung Ardikusumah (1681-1704), Tumenggung Angadireja I (1704-1747), Tumenggung Angadireja II (1747-1763), R.Agadireja III (1763-1794) atau yang lebih dikenal dengan nama R.A Wiranatakusumah I dan hingga akhirnya pendopo dipindah pada masa pemerintahan RA Wiranatakusumah II pada tanggal 25 september 1810, atas saran dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hermann Willem Daendels yang menjabat saat itu. Pertimbangan Daendels adalah ibukota yang baru lebih berprospek daripada Karapyak karena tempat yang baru ini berdekatan dengan pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan.
[caption caption="stasiun radio malabar "]
Dayeuhkolot pada masa kolonial berfungsi sebagai penghubung antara daerah perkebunan teh di bagian selatan yaitu di Pangalengan. Pada era tanam paksa, banyak orang Belanda membuka perkebunan di wilayah Priangan (saat ini Jawa Barat), salah satu yang terkenal memiliki perkebunan luas adalah K.A.R Boscha di Malabar, Pangalengan. Letak Dayeuhkolot yang strategis ini kemudian digunakan oleh pihak kolonial sebagai penghubung.
 Selain itu masih ada peninggalan rel kereta api dan jembatan kereta di pasar Dayeuhkolot sebagai bukti bahwa pada masanya Dayeuhkolot ini dilewati kereta api menuju Ciwidey yang kemungkinan besar mengangkut hasil perkebunan teh. Sayangnya rel ini mati sudah sejak lama dan disekitarnya sudah dibangun rumah warga. Selain sebagai penghubung, di Dayeuhkolot pernah dibangun PLTU untuk memenuhi kebutuhan listrik pemancar radio yang terletak di stasiun radio Malabar yang merupakan proyek besar kolonial saat itu.
[caption caption="monumen perjuangan"]
Peristiwa Bandung Lautan Api sangat erat kaitannya dengan Dayeuhkolot karena pertempuran paling besar terjadi di kecamatan ini. Pada tanggal 23 Maret 1946 kawasan Bandung Selatan dibumi hanguskan oleh warga bersama dengan Tentara Republik Indonesia. Di dalam pertempuran ini, Mohamad Toha dan Ramdan berhasil meledakkan gudang amunisi Sekutu di kawasan Dayeuhkolot menggunakan dinamit hingga akhirnya mereka pun ikut meninggal dalam ledakan tersebut. Bekas gudang mesiu yang diledakkan ini sekarang merupakan kompleks TNI Yon Zipur III dan disana terdapat monumen kecil perjuangan Tentara Republik Indonesia ketika peristiwa Bandung Lautan Api. Untuk menghargai jasa Mohamad Toha, nama beliau kemudian diabadikan menjadi nama jalan penghubung antara kota bandung dan bandung bagian selatan. Mulai dari monumen Bandung Lautan Api di Tegalega hingga Dayeuhkolot kami masih menyebutnya jalan Moh.Toha.
[caption caption="Moh.Toha"]
Cuaca di kawasan Dayeuhkolot ini memang dibilang tidak sepanas Jogja, bahkan sering disebut tropis basah karena curah hujan cukup tinggi yaitu 2102mm/t. Saya membandingkan dengan Jogja karena saat ini saya tinggal di Jogja. Selain itu letak geografis kecamatan ini 600mdpl dengan wilayah yang cukup datar sehingga rentan dilanda banjir yang tiap tahun meluap dari sungai Citarum.Â
Ada yang mengejutkan ketika Dayeuhkolot sering disibukkan oleh banjir adalah makam bupati pertama Bandung yaitu Tumenggung Wira Angun Angun ada disini, selain itu bupati Bandung yang bergelar Angadireja juga dimakamkan disini. Letak makam ini tertutup oleh bangunan-bangunan warga dan ruko sehingga saya pun sebelumnya tidak tahu mengenai makam bupati pertama Bandung. Sebagai warga Bandung tidak ada salahnya ketika memutuskan berziarah ke makam ini karena dimana kita tinggal, harus menghargai sejarah yang ada di tempat itu. Dayeuhkolot yang kecil ternyata memiliki rekaman peristiwa sejarah yang besar bagi bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H