Sebelumnya, saya akan tulis semacam disclaimer dulu. Tulisan ini tidak direncanakan, hanya menanggapi isu kecil tak penting yang seliweran di banyak media hari-hari kemarin, anggaplah selingan. Saya siap dilabeli ‘suka ikut campur urusan pribadi’, ‘sok tau banget’ atau sejenisnya, karena tulisan saya masih belum ada apa-apanya dengan informasi bebas di media. Sebagai sesama wanita yang pernah berada pada usianya, saya tergugah menyampaikan pesan cinta ini untuk Fatin. Tidak akan digunakan dalil agama yang saya yakini, meski sebenarnya tepat juga disampaikan kepada Fatin yang notabene Muslim. Jadi saya akan gunakan logika umum di Indonesia dan memposisikan diri sebagai kakak, kebetulan usia saya sepantar dengan lelaki yang disebut di media. Tidak usah terlalu dipedulikan, karena ini ditulis oleh jomblo yang kurang kredible bicara cinta, da aku mah apa atuh.
Apa yang ada dibenak Anda jika ada remaja anak tetangga Anda yang masih SMP tapi sudah pacaran? Atau tetangga yang anak kuliahan sering diantar pulang teman lelakinya, ganti-ganti lagi? Lalu apa reaksi Anda saat mengetahui seorang artis (bukan Fatin) kekasihnya sudah berbeda dengan yang beberapa bulan lalu Anda tahu? Jika Anda orang Indonesia, minimal Anda akan membatin. Potensi selanjutnya biasanya stereotyping kepada mereka. Kenapa? Karena tindakannya kurang wajar bagi masyarakat Indonesia. Di kota saya yang masih kental nuansa budayanya, hal semacam itu langsung jadi topik. Itulah yang disebut norma. Sebuah aturan tidak tertulis tapi sama-sama diketahui dan disepakati.
Melihat sejarah panjang bangsa ini tentu tidak heran jika Indonesia mempunyai norma yang membuat terkesan kolot bagi sebagian orang. Ibaratnya, cuma hal sepele saja dipermasalahkan dan diurusi. Tapi justru norma inilah yang menjaga tatanan masyarakat kita, setelah hukum formal saat ini menjadi sasaran manipulasi. Normalah yang membuat bangsa ini masih bermartabat dan berperasaan. Bayangkan jika kondisi masyarakat dan tatanan social Indonesia seperti Negara-negara barat.
Tentang Fatin, saya pribadi menyayangkan keputusannya (menjalin dan) mempublikasikan hubungan pribadinya yang agak sensasional. Jika bicara hak, itu merupakan hak Fatin, namun setiap orang juga mempunyai kebebasan berpandangan (posistif atau negatif) terhadap perilaku oranglain. Saya membayangkan bisa duduk berdua dengannya dan bertanya: Kamu ada masalah serius apa Fatin? Apakah keluargamu kurang memberikan perhatian padamu? Apakah teman-temanmu mengasingkanmu ketika kamu single? Apakah aktivitasmu membosankan? Adakah kamu merasakan ada kekosongan dalam dirimu? Mengapa kamu pacaran (lagi)? Apakah kamu berencana serius kali ini? Apakah kamu mencintainya? Cinta yang seperti apa?
Nah bicara cinta, dalam psikologi terdapat dua macam cinta; passionate love dan companionate love. Passionate love adalah cinta yang penuh gairah karena suatu daya tarik, yang ditandai dengan emosi yang intens, biasanya dialami oleh sebagian besar ABG. Jadi jangan heran ketika bertanya kepada remaja kenapa suka sama doi, dengan cepat akan dijawab karena pintar, cantik/ganteng, attractive, perhatian, suaranya bagus, jago basket dsb, sehingga pacaran adalah sebuah prestige. Sedangkan companionate love adalah cinta yang muncul karena penghormatan, kepedulian, kepercayaan, dan penghargaan. Biasanya dialami oleh seseorang dalam tahap hubungan dewasa; serius ke jenjang pernikahan atau pasangan yang sudah menikah. Maka ketika ada pertanyaan kenapa kamu dengannya, biasanya alasannya susah diungkapkan, kadangkala tidak ada pengungkapan diantara keduanya karena hati yang berbicara. Idealnya, kedua jenis cinta ini saling melengkapi, sehingga terbentuk hubungan yang memadukan antara gairah dan penghormatan. Hanya saja dibutuhkan sebuah komitmen yang sangat serius sebagai fasilitator, misalnya; pernikahan. Nah kira-kira cinta yang mana nih yang menjadi sebab musabab Fatin dan Anda sekalian yang saat ini menjalin hubungan?
Terlepas dari yang mana. Pesan saya untuk Fatin, adik-adik Fatinistic dan semua yang membaca; jika memang belum mempunyai niat serius dan secara usia belum waktunya untuk membangun hubungan hingga ke jenjang pernikahan, maka tahanlah diri dari hubungan interpersonal yang ‘main-main’ (hanya melibatkan passionate love). Perlu Anda tahu, companionate love pun tidak selalu bermula dari hubungan semacam pacaran, bisa jadi sahabatan kemudian ternyata berjodoh. Yakinlah, menjalin sebuah hubungan ‘main-main’ di usia produktif Anda hanya akan menyia-nyiakan sesuatu berharga dalam diri Anda; entah waktu, tenaga, materi, pikiran, perasaan, dan melupakan sesuatu yang seharusnya Anda lebih fokuskan. Serta memicu pandangan negatif dari oranglain terhadap diri Anda. Jika Anda masih makhluk sosial tentu peduli dengan poin terakhir tersebut.
Bagaimana jika muncul perasaan suka, kagum dan cinta pada seseorang? Perlu Anda renungkan; benarkah itu cinta, tak bisakah difasilitasi dengan hubungan persahabatan saja, analisalah dampak kedepan, misal studi atau cita-cita Anda. Bagaimana jika gelora untuk berpacaran tidak tertahan? Perbaiki hubungan dengan Allah Swt, perbaiki hubungan dengan keluarga, dengan teman dan sahabat. Karena cinta merekalah yang akan membuat Anda merasa sempurna dan tidak membutuhkan yang lain. Isi waktu dengan kegiatan yang produktif dan bermanfaat untuk kita, oranglain dan orang-orang yang menyayangi kita. Jika waktunya tiba untuk menjalin komitmen yang serius, maka perasaan dan keyakinan hati yang akan mengarahkan. Sekian, maafkan jika berpanjang ria dan terkesan ikut campur urusan Fatin dan Anda sekalian. Mari jaga dan sayangilah diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H