Beberapa tahun ke belakang, tren mengenai 10 step skincare routine ala Korea menjadi sangat populer di kalangan beauty enthusiast. Fenomena ini memantik kemunculan produk-produk baru dalam dunia kecantikan, khususnya bagi sebuah brand yang berbondong-bondong memenuhi permintaan pasar.Â
Jika kita perhatikan hampir setiap pekan atau akhir bulan, pemain-pemain baru dalam dunia kecantikan terus bermunculan - merilis produk terbarunya.Â
Pasalnya, menurut data statistik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produk kosmetika menempati urutan dominan yang paling banyak masuk dalam registrasi produk izin edar di tahun ini, yang sebelumnya telah mengalami peningkatan sebanyak 85% pada tahun 2021.
Walaupun terlihat seperti sebuah kejayaan bagi industri kecantikan dan perekonomian, namun ada hal yang perlu kita khawatirkan dibalik ini semua.Â
Pada umumnya, sebagian dari kita sudah familiar dengan istilah fast fashion, kini saatnya kita mengenal istilah lain yang berkaitan dengan hal serupa, yaitu fast beauty.Â
Secara general, substansi keduanya berupa sebuah siklus produksi yang sangat cepat, guna memenuhi permintaan konsumen. Namun jika ditelisik lebih jauh, istilah "fast" di dalamnya tidak hanya mengenai kecepatan produksi oleh sebuah brand, namun juga berkaitan dengan kita sebagai konsumen - seberapa cepat juga kita tergiur untuk membeli dan mencoba produk baru yang bermunculan, secara impulsif.
Fenomena fast beauty dan perilaku impulsif yang terjadi, memiliki dampak yang bersinggungan dengan lingkungan dan kehidupan kita. Sebab faktanya dari 120 milyar packaging kosmetik yang diproduksi secara global, sebanyak 79% berakhir di TPA dan hanya 9% saja yang berhasil di recycle.Â
Artinya, kemunculan fast beauty ditengah perilaku impulsif ini telah berkontribusi dalam menyumbang sampah dan kita sebagai konsumen memiliki tanggung jawab sebagai kemudi arah industri kecantikan dan sampah yang dihasilkan dari produk yang kita gunakan.
Selanjutnya, bagaimana seharusnya kita merespon semua ini dan apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen?
Langkah sederhana yang bisa kita mulai adalah, skinmalism. Skinmalism atau skin minimalism sendiri dapat diartikan sebagai upaya penyederhanaan penggunaan produk beauty care.Â
Artinya, kita hanya menggunakan produk-produk yang esensial - sesuai dengan kebutuhan. Sehingga kita tidak perlu mengadopsi 10 step skincare yang populer digunakan. Kita dapat memulai langkah skinmalism dengan cara:
- Mengidentifikasi jenis kulit
- Memfokuskan pembelian produk-produk sesuai jenis dan kondisi kulit atau kebutuhan
- Membeli dan menggunakan produk secara bijak; tidak mudah tergiur dengan potongan harga dan influencer, membeli produk all in one atau sejenisnya, serta menggunakan produknya sampai habis
- Mengolah kembali packaging produk yang sudah habis pakai untuk dialih fungsikan. Terlebih sekarang sudah banyak platform jasa pengepul yang menyediakan layanan pengolahan limbah kemasan untuk didaur ulang kembali, di antaranya seperti lyfewithless, daur.id, waste4change, bank sampah, plasticfornature, gammawaste, dan lainnya
- Tidak menimbun produk yang tidak cocok digunakan. Solusinya, bisa dijual kembali atau diberikan kepada orang yang biasa menggunakan produk tersebut, supaya produknya tidak terbuang sia-sia
Dengan begitu, kita telah berkontribusi dalam upaya kepedulian bagi diri sendiri dan lingkungan. Sebab kita bisa menghemat biaya untuk membeli product beauty care sesuai dengan kebutuhan dan meminimalisir sampah yang dihasilkan.
Less product
Less waste
Referensi:
BPOM. (2022). "Statistik Produk Yang Mendapat Persetujuan Izin Edar". https://cekbpom.pom.go.id/Â
Lyfewithless. (2019). "Fakta Empties Industri Kecantikan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H