Nada suaranya terdengar meninggi. Aku hanya meresponnya dengan menaikan kedua alisku saja.
"Kan bikin kesel kalau dia nggak sadar diri gitu!"
Aku menganggukan kepala sebagai respon kalau aku terus menyimak ceritanya. Sengaja nggak ngomong. Bingung mau ngomong apa juga.
"Langsung kujawab, kita ini tinggal di mana? Di salah satu kos-kosan milik ortuku kan? Nempati kosan yang paling gede. Gratis nggak bayar. Listrik sama air juga ditanggung ortuku. Kalau pagi sama malam numpang makan ikut ortuku. Kalau kami kerja, nitip anak ke ortuku juga. Lha, ngasih ortu uang aja kok diributin sih?"
Aku sekali lagi mengangguk. Paham deh. Bagus juga tuh. Pada dasarnya ortu itu nggak pernah minta apapun ke anaknya. Anaklah yang harus sadar diri untuk ngasih meski nggak diminta. Meski nggak besar tapi kan setidaknya ngasih.
"Kalau kita ngasih ortumu jarang-jarang ya wajar. Kita nggak ngerepotin mereka tiap hari," Â lanjutnya yang masih terdengar emosi.
Sekali lagi aku mengangguk. Setuju juga sih sama apa yang dia lakuin.
"Eh, dia malah bilang yang ngeselin lagi!"
Aku menaikan kedua alisku lagi. Sorot mataku mengisyaratkan bertanya.
"Suamiku bilang kenapa aku juga rutin ngasih duit adikku tiap bulan? Sedangkan ke adiknya dia jarang,"
Apalagi ini? Kok jadi adik ikutan kena sih?