"Ini milikku Mbah!"
"Ora. Kuwi duwekku," (Tidak. Itu miliku)
Mata perempuan renta itu terlihat garang menatap marah ke arah perempuan muda. Â
"Ada apa ini?" tanya Pak Bhakti yang datang tergopoh-gopoh bersama para staf pengurus panti lainnya.
"Ini Pak Bhak, Mbah Tukah mau merebut suwengnya Mbak ini!" jawab seorang ibu lansia yang mengenakan kaos polo warna ungu. Ia memegangi tangan Mbah Tukah sekuat mungkin agar tak lepas dan merangsek merebut lagi anting-anting yang dipakai oleh keluarga pengunjung yang sedang datang berkunjung saat itu.
"Kuwi suwengku. Nyapo mbok colong!" (Itu anting-antingku. Kenapa kamu curi!).
"Nggak Mbah. Saya nggak nyuri. Ini memang milik saya,"
"Halah ngapusi," (Halah bohong)
Terlihat Mbah Tukah meronta. Pegangan ibu berkaos ungu lepas. Tangan Mbah Tukah berhasil menarik daun telinga perempuan muda itu. Jerit kesakitan kembali terdengar. Â
Pak Bhakti melerai. Ia mengamati wajah Mbah Tukah sambil melerai. Ia bergidik.
Wajah Mbah Tukah terlihat menakutkan. Matanya berkilat marah. Sorot mata marah ditambah kulit keriput yang kendur di sana sini plus deretan gigi hitam mampu menimbulkan kesan wajah angker. Tak terbayangkan bagaimana kejadian semalam. Pasti lebih menakutkan lagi. Rambut panjang warna putih mirip senar gitar itu terurai nyaris sepinggang. Mulutnya berteriak berisik tak jelas entah mengucapkan kata apa. Belum lagi ia berlompatan mirip monyet dalam kondisi tanpa busana. Peristiwa tengah malam yang lalu pasti lebih menakutkan dari yang sekarang ini. Â
"Mbah Tukah, ayo ikut saya Mbah! Saya kasih suweng ya. Mau toh?!" bujuk Pak Bhakti.
"Halah ngapusi!"(Halah bohong)
"Mboten Mbah. Saestu niki," (Nggak Mbah. Beneran ini)