Mohon tunggu...
Niji No Saki 1107
Niji No Saki 1107 Mohon Tunggu... -

benci shopping mall

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meretas Asa di Negeri Sakura (Bagian VI)

29 Agustus 2010   17:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:36 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya

--------------------------------------

Toyohashi, September 2009

“Sampah…”

Kata itu menghunjam jantung, saya menelan ludah. Paper di tangan saya mulai lusuh karena keringat dingin. 20 menit saya menghabiskan waktu untuk presentasi paper dan performa saya hari itu ditebas oleh tajamnya lidah sensei.  Di hadapan 13 orang lab member, saya mencoba untuk mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan beliau mengenai paper itu, tapi tulisan-tulisan di kertas itu terlihat semakin kabur. Saya diserang rasa panik.

“Paper yang kamu presentasikan ini sampah! Bagaimana mungkin paper dengan kualitas serendah itu bisa lolos review di Polymer jurnal, memalukan! Kenapa juga kamu pilih paper ini, apa tidak ada yanglain? Sangat tidak scientific, tak lebih dari laporan seorang teknisi. Buang-buang waktu saja, kamu sudah merampok waktu kami dengan mempresentasikan sampah seperti ini.”

Saya menggaruk kepala yang tak gatal, kemudian berusaha mencoba untuk tetap tenang walaupun rasa malu yang merambat membuat saya ingin menghilang dari tempat itu.

“3 hari. Cari paper yang lebih bagus dan presentasikan.”

“Baik sensei.” Jawab saya lemah.

Makin hari tekanan di lab makin berat, saya merasa daya tahan diri hampir mencapai titik nadir. Suatu ketika ibu menelepon dari Indonesia, dan seperti biasa saya berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.“Adik kan penelitiannya lancar, siapa tahu nanti begitu lulus ditawari kerja sama sensei..”

“Ditawari kerja? Hahahahha…..mimpi kaleee..” jawab saya sinis.

“Adik gak boleh begitu, itu namanya mendahului takdir. Apa yang terjadi besok siapa yang tahu?” saya tak ambil pusing, Ibu tidak tahu apa yang sedang saya alami di sini.

---------------------------------------------------------

Kepala saya berdenyut-denyut, kurang dari 3 bulan lagi saya akan segera lulus. Topik kedua penelitian saya sudah hampir selesai, tinggal menyusun thesis dan mempersiapkan slide untuk final defense. Namun ada yang mengganggu benak saya, saya belum tahu apa yang akan saya lakukan setelah lulus.

Di Jepang anak-anak mahasiswa biasanya akan mulai mencari kerja setidaknya setahun sebelum kelulusan. Ada periode-periode tertentu untuk mencari kerja, biasanya 2x setahun. Pada periode-periode ini perusahaan-perusahaan akan melaksanakan job fair dan melakukan presentasi untuk menjaring pelamar dari universitas-universitas. Di Jepang, aktivitas job hunting semacam ini disebut dengan 'shushoku katsudou'. Proses seleksi di perusahaan tersebut pun akan dilaksanakan pada masa-masa ini. Seorang mahasiswa yang beruntung bisa menandatangani kontraknya bahkan setahun sebelum ia lulus, rata-rata mahasiswa Jepang mendapatkan pekerjaan sekitar 6 bulan sebelum lulus, sehingga tidak ada waktu menganggur setelah wisuda.

Saya selalu plintat-plintut ketika ditanya rencana apa yang akan saya lakukan selepas lulus. Meneruskan Doktor di lab yang sama tidak sudi, ketika saya jawab bahwa saya mau pulang saja, pertanyaan pun bersambut, “Apa yang akan kamu kerjakan di sana?”

“Bekerja.” Jawab saya sekenanya.

“Di mana?” pertanyaan berlanjut lagi.

“………..Saya mendapatkan tawaran mengajar di universitas …” itu adalah hal pertama yg melintas di benak. Tak sepenuhnya benar, pun tak juga berbohong. Di bulan Juli ketika chatting dengan mantan pembimbing saya semasa S1, beliau sempat mengatakan bahwa jurusan T. Material di ITS sedang butuh dosen untuk bidang plastik dan komposit. Beliau berharap ketika saya pulang nanti, saya mau mencoba untuk mengisi lowongan tersebut. Omongan tersebut tidak terlontar secara formal dan lebih banyak diselingi guyonan. Sebenarnya mantan pembimbing saya hanya sekedar menginformasikan, tapi tidak menawarkan, beliau tak berkewenangan untuk itu. Tapi tak apalah, daripada kelihatan seperti orang yang tak peduli masa depan.

-----------------------------------------------------------------

“Niji coba kemari sebentar ke kantor saya.” Panggil sensei, saya pun mengekor.

Di kantor sensei saya melihat seorang pria, ia tidak tampak seperti orang Jepang, lebih seperti orang Asia Tenggara pada umumnya. Mereka berbincang, bahasa Jepang pria itu sangat lancar tanpa logat bawaan, tak ubahnya seorang native speaker.

“Niji adalah salah satu murid saya yang paling pandai. Selama di sini dia selalu bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Saya yakin dia bisa melakukan tugas apa saja yang diberikan padanya..” kata sensei pada pria itu sambil tersenyum-senyum, saya tidak bisa mempercayai pendengaran saya. Miyazaki-sensei, sosok yang seperti mendapat kenikmatan setiap kali mematahkan mental dan moral mahasiswanya di ruang sidang, kini memuji saya? Mungkinkah ini sebuah mind game terbarunya?

“Perkenalkan, nama saya Ilyas*, saya adalah marketing executive PT. Kyowa Hakko*, ini kartu nama saya..” sapanya ramah. Beliau ternyata orang Indonesia…

“Silakan berbincang-bincang lebih lanjut dengan Niji, siapa tahu dia kandidat yang cocok untuk posisi R& D di Indonesia. Mana tahu dia bisa langsung jadi kepala seksi di sana hahahahha…” baru kali ini saya liat Miyazaki-sensei bercanda. Pak Ilyas terlihat sangat santai dan nyaman dengan sensei, mereka sangat akrab seperti kenalan lama.

Tak lama kemudian kami pun berbincang-bincang. Ternyata Pak Ilyas adalah salah satu alumni lab kami 8 tahun lalu ketika Miyazaki-sensei masih menjabat sebagai associate professor. Setelah lulus master, beliau kembali ke Indonesia dan langsung bekerja pada PT. Kyowa Hakko, mulanya pada divisi R&D namun karirnya merambah naik menjadi executive marketing untuk kawasan Asia Pasifik. Ia kebetulan sedang berada di Jepang untuk business trip dan memutuskan untuk mampir ke Toyohashi menengok lab. Melalui obrolan dengan Miyazaki-sensei, ia bertanya tentang lab member yang saat itu sedang menjalani shushoku katsudou, kebetulan Pak Ilyas ingin menawarkan posisi untuk penempatan di Indonesia. Saat itulah sensei merekomendasikan saya. 2 posisi yang ditawarkan oleh Pak Ilyas adalah divisi R&D untuk product development dan Marketing. Dengan rekomendasi dari sensei, Pak Ilyas bahkan lebih yakin dari diri saya sendiri bahwa saya cocok untuk mengisi salah satu dari posisi tersebut. Yang perlu saya lakukan hanyalah memasukkan CV, 'ngobrol' dengan board director dan saya ditawari untuk mulai bekerja bulan Maret di tahun berikutnya. Saya tertegun, obrolan di telepon dengan ibu tempo hari menjadi kenyataan, sungguh ajaib.

Persaingan shushoku katsudou selalu berlangsung sangat alot, bahkan mahasiswa Jepang pun sangat jarang menerima tawaran kerja tanpa tes seperti ini. Saya sungguh tak menyangka, ketika saya berniat melewatkan periode shushoku katsudou begitu saja, tawaran justru datang dan berasal dari the least expected person, Miyazaki-sensei, orang yang telah membuat hidup saya penuh tekanan selama hampir 2 tahun terakhir justru telah merekomendasikan saya pada koleganya. Perasaan hati saya campur aduk: bahagia, bangga, kaget, namun salah satu komponen terbesarnya adalah bingung: mungkinkah Miyazaki-sensei tidak seperti yang saya kira? Benarkah ia sungguh-sungguh tak peduli? Ataukah ia menyimpan maksud lain yang tak mampu saya pahami?

bersambung

* bukan nama sebenarnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun