Mulai minggu ini negara-negara di belahan bumi utara tengah menyambut musim panas. Orang-orang mulai menanggalkan lapisan-lapisan pakaiannya di musim lalu dan di taman-taman kota terlihat kerumunan orang berjemur menikmati sinar matahari. Memori saya melayang ke bulan Juli setahun yang lalu ketika saya masih tinggal di Jepang. Musim panas di Jepang yang panas dan lembab, lebih gerah daripada Surabaya ataupun Jakarta, dengan kelembaban rata-rata di atas 90%, rasanya seperti dalam kukusan saja. Walaupun gelombang panas terasa menyedot energi, masyarakat Jepang menyambut musim panas dengan suka cita. Kimono tipis yang terbuat dari polyester, yukata, mulai terlihat dijual di mal-mal. Bukan Jepang namanya jika pergantian musim tidak dirayakan dengan festival. Di bulan Juli-Agustus di seluruh negeri diselenggarakan festival kembang api (hanabi matsuri). Lupakan pesta kembang api yang pernah anda liat di tahun baru, hanabi matsuri di Jepang sulit dicari tandingannya, bahkan di Eropa sekalipun. Dalam kurun waktu 1-2 jam, puluhan ribu kembang api ditembakkan hingga ratusan meter ke udara, bagaikan bunga-bunga mekar berpendar-pendar di langit malam. Bentuknya pun bermacam-macam, dari yang standar hingga yang 3 dimensi seperti bentuk hati, karangan bunga, palem, kupu-kupu, karakter kanji, dll. Di beberapa tempat bahkan diselenggarakan 'hanabi taikai' atau kompetisi kembang api, dimana beberapa tim berlomba untuk saling mengalahkan dari segi teknik, warna, dan bentuk kembang api yang ditembakkan ke udara. Karena tiap kota menyelenggarakan festival di hari-hari yang berbeda, saya pun selalu mengecek jadwal hanabi matsuri di internet. Saking keranjingannya saya terhadap festival ini, melihat sekali rasanya tidak cukup. Hampir di setiap akhir pekan di sepanjang bulan Juli-Agustus, saya 'beredar' mengitari kota-kota di sekitar perfektur Aichi dan Shizuoka, tak kurang dari 5 kota saya kunjungi demi menyaksikan kembang api. Demi keamanan, festival biasanya diselenggarakan di tepi sungai besar atau teluk. Dalam radius beberapa ratus meter area harus dikosongkan. Jalan raya pun biasanya ditutup hingga 1 Km jauhnya sehingga semua orang harus berjalan kaki menuju tempat festival. Di sekitar area festival, yatai atau stand penjual makanan banyak ditemukan. Walaupun sama-sama kaki lima, bedanya dengan di Indonesia: tetap bersih dan teratur :D Festival dimulai sesaat setelah gelap, sekitar jam 7 -8 malam. Namun kerumunan orang mulai berjubel sejak sore hari. Di antara puluhan ribu orang (bahkan ratusan ribu, jika eventnya besar seperti yang diadakan di Sumidagawa dan Tokyo Bay Area) tentunya sulit sekali mendapatkan tempat yang strategis agar kita bisa leluasa menikmati jalannya festival tanpa harus terhalang kepala orang lain. VIP seat pun dijual sekitar sebulan sebelumnya dengan harga termurah 2000 yen. Karena pengen gratisan, demi mendapatkan foto yang bagus, saya biasanya rela datang sekitar jam 5 sore dan harus menunggu tak kurang dari 2 jam sampai festival dimulai. Penonton yang datang pun tak kalah menariknya. Muda-mudi yang mengenakan yukata datang bersama pasangannya masing-masing. Di musim-musim lain cukup jarang kita menemukan orang-orang berpakaian tradisional di jalan-jalan kecuali pada perayaan seijin shiki (coming of age, perayaan muda-mudi yg menginjak usia 20 tahun di tahun itu) di bulan Januari atau musim kelulusan di bulan April. Uniknya, di daerah teluk Mikawa, festival kembang api tak lengkap tanpa tezutsu hanabi atau kembang api yang dipegang tangan. Kebetulan kota tempat tinggal saya waktu itu, Toyohashi, adalah tempat kelahirannya. Tezutsu hanabi dibuat dari bumbung bambu sepanjang 70 cm dan berdiameter sekitar 15 cm. Di dalamnya diisi dengan bubuk mesiu yang dilengkapi dengan sumbu, tak ubahnya seperti meriam kecil. Segera setelah disulut, tezutsu hanabi akan menyemburkan bunga api seperti mesin jet dari ujung bambu yang terbuka, sebelum akhirnya mengeluarkan bunyi dentuman yang sangat keras ketika bubuk mesiu habis terbakar. Untuk menjaga agar bambu tidak meledak dan melukai pemegannya, bagian luar bumbung dibebat dengan tambang. Karena sangat berbahaya, hanyalah pria-pria dewasa terlatih yang boleh memegang tezutsu hanabi. Dibutuhkan keberanian besar untuk memegangnya karena kecelakaan sangat mungkin terjadi. Ahhh~~~ jadi kangen pengen nonton kembang api lagi. Berhubung perasaan sedang mellow, mari kita simak lagu dari Mr. Children yang juga berjudul sama, 'hanabi'. Yuk mareee..... '' PS: Semua foto adalah dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H