Mohon tunggu...
Niji No Saki 1107
Niji No Saki 1107 Mohon Tunggu... -

benci shopping mall

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stop Stigmatisasi Korban Perkosaan!

21 April 2010   13:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di hari Kartini ini saya begitu terenyuh membaca kisah-kisah inspiratif perempuan-perempuan perkasa yang di-posting para Kompasianer, namun ada sebuah kisah yang sungguh menghancurkan hati saya dan memotivasi saya untuk membuat tulisan ini. Hari-hari ini kita makin diresahkan oleh banyaknya tindak pemerkosaan yang terjadi di seluruh penjuru negeri. Pertanda apakah ini? Apakah masyarakat kita makin tidak bisa mengendalikan libidonya? Teriris hati saya membaca pemerkosaan yang dilakukan terhadap anak-anak gadis di bawah umur. Yang paling meresahkan akhir-akhir ini adalah pemerkosaan berantai di Bali. Betapa 'sakit'nya pikiran orang-orang yang merenggut masa depan gadis-gadis kecil tak bersalah ini. Kita tahu bahwa tindak pemerkosaan paling banyak dilakukan oleh orang dekat seperti immediate family (ayah, paman, atau kakak), tetangga, teman sekolah, kekasih, dll, yang memiliki intensitas interaksi yang cukup sering dengan korban. Namun tak jarang tindak tersebut dilakukan oleh orang asing bahkan oknum aparat. Secara pribadi, saya berpendapat bahwa pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan terburuk, bahkan hukuman mati pun terasa terlalu ringan. Korban harus menanggung trauma fisik dan psikis seumur hidupnya. Dampak fisik meliputi: perdarahan, infeksi saluran kencing, fibroid, penyakit menular sexual (jika pelaku memiliki penyakit tsb), bahkan kadang kehamilan. Dampak psikis meliputi: depresi, post-traumatic disorder, rendah diri, kecemasan akut, bahkan kadang dapat memicu perilaku merusak seperti pelarian ke obat-obatan dan perilaku menyimpang lainnya. Dalam beberapa kasus korban memilih bunuh diri karena tak kuasa menanggung beban batin. [caption id="" align="alignleft" width="346" caption="Sketsa 17 ‘wajah’ Karen Overhill, seorang penderita split personality yang pernah disiksa secara seksual oleh ayah dan kakeknya selama 20 tahun "][/caption] Kasus pemerkosaan oleh orang dekat paling banyak terjadi dan cenderung mudah dilakukan karena korban dan keluarganya telah menaruh kepercayaan sehingga mereka tidak curiga. Posisi korban pun jadi serba salah karena hubungan kekerabatan yang dekat dengan pelaku berpotensi menimbulkan konflik baru. Tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dekat memiliki dampak yang sangat merusak, terutama pada kasus-kasus parental incest.  Jika anda pernah membaca novel karangan Torey Hayden, One Child, atau Sybil karangan Flora Schreiber, kekerasan seksual terhadap anak dalam jangka panjang bisa menimbulkan pecahnya identitas seseorang atau split personality. Efek destruktif perkosaan terlihat jelas pada kasus peperangan, dimana pemerkosaan sistematis menjadi salah satu senjata yang paling efektif untuk menceraiberaikan moral pihak lawan. Taktik ini telah dilakukan ribuan tahun lalu oleh tentara kekaisaran Persia, Romawi, dan Mongol dalam sejarah penaklukannya. Di zaman modern hal ini pernah terjadi pada perang Serbia-Bosnia di tahun '90an dimana ratusan ribu wanita Bosnia diperkosa, di Indonesia pada tahun '98, dan masih terjadi di negara-negara Afrika yang sedang bergolak seperti Kongo, Rwanda, dan Zimbawe. Kongo dilaporkan memiliki intensitas kekerasan seksual terburuk di dunia, sedangkan Afrika Selatan dilaporkan memiliki angka perkosaan anak-anak dan bayi tertinggi di dunia. Survey oleh Medical Research Council melaporkan bahwa lebih dari 25% pria di Afrika Selatan mengaku pernah memerkosa lebih dari satu kali!! Ya, perkosaan bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apapun. Ia bisa saja terjadi pada keluarga, teman atau bahkan kita sendiri. Anak-anak di bawah umur (<18 tahun) lebih rentan mengalami kekerasan seksual karena ketidaktahuan pada apa yang menimpa mereka. kita tahu semua bahwa mentalitas masyarakat masih cenderung memojokkan perempuan korban perkosaan. dari sekian banyak berita pemerkosaan saya baca di kompas.com atau media lain, sering jumpai komentar-komentar seperti ini: (ini copy-paste lo) "habisnya dia juga kegatelan sih.." "hal ini gak perlu terjadi kalo si bisa jaga diri.." "lagian mau aja diajak sama orang dikenal. berarti dong.." sini lihat betapa memandang perkosaan adalah pihak patut dipersalahkan akan tindak seksual. jikalau hal itu dilakukan oleh teman-teman sekolah pacar korban, sedemikian cepat men-judge pergaulan si gadis telah kebablasan atau terlalu mempercayai teman lelakinya. Apa si gadis ga mikir? [caption id="" align="alignleft" width="200" caption="Otak remaja dan Amygdala"]

Otak remaja dan Amygdala
Otak remaja dan Amygdala
[/caption] Well, pada usia remaja, banyak dari kita melakukan hal-hal yang seperti tidak didasari akal sehat. Hal itu disebabkan karena kerja otak remaja lebih didominasi oleh amygdala yang merupakan pusat emosi, dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakan instingtif, ketimbang oleh cortex yang merupakan pusat pemikiran, logika, dan pengambilan keputusan. So, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka karena seperti itulah cara berpikir mereka, dan mereka sedang berproses untuk bisa memfungsikan cortex mereka. A rape is a rape. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui visum medis. [caption id="" align="alignright" width="200" caption="Otak Manusia, bagian yang dilingkari adalah Korteks"]
Otak Manusia, bagian yang dilingkari adalah Korteks
Otak Manusia, bagian yang dilingkari adalah Korteks
[/caption] Dalam kondisi normal tanpa paksaan, organ intim wanita bereaksi terhadap rangsangan seksual dengan mensekresi cairan lubrikan dan membuat intercourse tidak menyakitkan. Namun jika hasil visum menunjukkan luka, perdarahan bahkan kerusakan, bisa dipastikan bahwa hal tersebut dilakukan dengan paksaan. You can't argue with medical facts. Anda tidak bisa menuduh seorang korban perkosaan juga 'menginginkan hal itu' jika hasil visumnya membuktikan bekas paksaan. Sama halnya anda tidak bisa mengatakan pada orang yang sedang tidak bisa berjalan bahwa kakinya hanya keseleo, padahal hasil X-ray nya bilang bahwa tulangnya patah. Seperti fenomena gunung es, angka perkosaan bisa jadi lebih besar karena korban tidak berani lapor Penyebabnya takut akan stigmatisasi lingkungan dan pencitraan oleh media. Media? Ya, media. Bagaimana tidak, bukankah kita masih sering melihat berita-berita perkosaan diberitakan dengan judul vulgar di perempatan jalan? Tidak usah saya sebutkan, anda pasti sudah tau. Ini sudah seperti kita melakukan gang rape pada korban. Pihak keluarga pun kadang melakukan tindakan yang kurang bijaksana, demi menghindari aib keluarga korban justru menikahkan korban dengan pelaku. Bukannya menyelesaikan masalah, hal ini malah berpotensi memperburuk trauma korban. Di tulisan ini saya ingin mengajak anda untuk merenungkan efek yang harus ditanggung oleh korban perkosaan. Maka janganlah kita, sebagai anggota masyarakat, menjadi pelaku pemerkosaan kedua dengan menyudutkan, mempersalahkan dan memberi stigma buruk pada mereka. Apa yang bisa kita lakukan? Dampingi, support mereka agar mereka bisa bangkit melawan traumanya. Bantulah mereka merekatkan peta masa depannya yang telanjur hancur berantakan. Stop stigmatisasi korban perkosaan! Sudah cukup derita yang harus mereka tanggung sendiri. Jangan kita menambahnya lagi dengan cercaan dan bisik-bisik kita. Bukan salah sang wanita yang tidak bisa menjaga diri, bukan karena pakaiannya, bukan! Itu adalah murni kebejatan nafsu si pelaku yang patut kita kutuk. Referensi: http://en.wikipedia.org/wiki/Rape http://en.wikipedia.org/wiki/Effects_and_aftermath_of_rape http://www.dailymail.co.uk/news/article-489655/Patient-multiple-personalities-sketches-17-alter-egos.html http://www.aacap.org/cs/root/facts_for_families/the_teen_brain_behavior_problem_solving_and_decision_making

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun