Enam terdakwa kasus Asabri telah menerima vonis dari hakim, menyisahkan dua orang lainnya yakni Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro. Melihat putusan hakim kepada para terdakwa, tidak aneh kalau sebelumnya tuntutan jaksa menuai kritik dan kecaman dari pakar hukum hingga ICW. Pasalnya Kejaksaan menuntut ringan pimpinan Asabri dan memberatkan pihak swasta disertai denda yang tak masuk akal.
Berbanding terbalik dengan Kejaksaan, hakim justru lebih adil kepada para terdakwa. Ditambah dengan adanya dissenting opinion dari hakim Mulyono yang dapat menilai kekeliruan audit BPK. Dirinya dengan tegas menyatakan bahwa BPK tidak memperhitungkan reksa dana, surat dan saham-saham yang masih ada dan menjadi milik PT Asabri padahal memiliki nilai atau harga. Auditor BPK tidak memperhitungkan fluktuasi harga, tapi hanya efek surat berharga yang tak terjual Kembali sebelum 31 Desember 2019 dan penerimaan setelah 31 Desember 2019.
Dari fakta tersebut, sudah bisa ditebak kalau institusi Kejaksaan dan BPK sudah masuk angin di kasus Asabri, juga kasus sebelumnya yang menimpa Jiwasraya. Bisa jadi perusahaan yang awalnya sehat dengan kejam dipaksa bangkrut agar bisa membuat indikasi korupsi dan sebagainya. Kini kita tahu, vonis hakim juga bertolak belakang dari Jaksa.
Perkara yang kini diadili oleh ketua hakim IG Eko Purwanto, dengan hakim anggota Saifusin Zuhri, Ali Muhtarom, Rosmina dan Mulyono Dwi Purwantoro telah memasuki babak akhir. Sebelumnya vonis maksimal dijatuhkan pada empat terdakwa kasus Asabri. Eks Direktur Utama Asabri periode 2008-2016, Mayor Jenderal Adam Rachmat Damiri dan Direktur Utama Asabri periode 2016-2020, Sonny Widjaja divonis 20 tahun penjara. Juga denda masing-masing 800 juta dan 750 juta, serta mengganti uang negara masing-maisng 17,92 miliar dan 64,5 miliar. Vonis ini lebih besar dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut keduanya dengan hukuman penjara 10 tahun.
Dua terdakwa lain juga divonis maksimal, yakni 15 tahun penjara bagi Direktur Investasi dan Keuangan Asabri periode 2013-2019, Hari Setianto dan Investasi Asabri periode 2012-2015, Bachtiar Effendi. Selain itu juga ada denda masing-masing 750 juta dan uang pengganti senilai 378,8 juta dan 453,7 juta. Vonis ini juga lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang hanya 12 tahun. Vonis hakim ini sesuai dengan kritik para pakar hukum yang sebelumnya menilai kalau tuntutan jaksa ke penyelenggara negara harusnya lebih besar ketimbang ke swasta.
Sedang untuk terdakwa dari swasta, vonis hakim justru lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa. Direktur Utama PT Eureka Prima Jkarta (LCGP), Lukman Purnomosidi divonis 10 tahun penjara dan denda senilai 750 juta rupiah yang bila tak dibayar akan diganti pidana kurungan 6 bulan. Vonis tersebut lebih ringan ketimbang tuntutan JPU Kejaksaan Agung yang menuntut agar Lukman dihukum 13 tahun penjara ditambah denda 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Dalam vonis lainnya, Lukman juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai 715 miliar dikurangi aset-aset yang sudah disita dan saat tidak mencukupi diganti 4 tahun penjara. Vonis ini berbeda dari tuntutan jaksa agar Lukman membayar  1,341 triliun subsider 6,5 tahun penjara.
Terdakwa swasta lainnya yakni Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo divonis 13 tahun penjara ditambah denda 750 juta rupiah yang bila tak dibayar diganti kurungan 6 bulan. Vonis Jimmy lebih rendah diabanding tuntutan JPU Kejaksaan Agung yakni 15 tahun  penjara ditambah denda s750 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan. Jimmy juga diwajibkan mengganti 314,868 miliar dengan memperhitungkan barang bukti dan dokumen sitaan.
Berbeda dari hakim lainnya, hakim Mulyono dengan jujur menyatakan dissenting opinion. Dirinya mengungkap kalau Jimmy Sutop menguasai saham Asabri senilai 765 miliar per 31 Desember 2019 dari harga pembelian 314,868 atau mengalami kenaikan 247 persen. Justru perbuatan Jimmy malah dinilai memberi keuntungan bagi Asabri sebesar 450,273 miliar. Terkait perbuatannya membeli saham senilai 715 miliar yang belum Kembali, hal itu belum jelas kepemilikannya dan tidak ada kepastian nilai yang dinikmati Lukman. Artinya kerugian 22,788 berdasarkan audit BPK masih potensi, bukan kerugian riil.
Mengaca dari putusan hakim yang selalu bertolak dari tuntutan jaksa, bisa dipastikan kalau kedua terdakwa swasta lainnya yakni HH dan Bentjok akan menerima vonis yang lebih ringan ketimbang tuntutan.Â
Masyarakat harus tahu kalau Kejaksaan tidak bisa menuntut seenaknya sendiri tanpa ada bukti nyata. Jangan sampai nanti kejaksaan pencitraan lagi dengan menyebut kesulitan meerapkan hukuman mati pada terpidana korupsi.
Jangan membalikkan cerita dari kedzaliman menjadi sok pahlawan. Kejaksaan juga BPK jelas-jelas telah mendzalimi para terdakwa terutama dari swasta dengan membebankan kerugian yang belum pasti adanya. Sekalipun vonisnya nanti berupa penjara seumur hidup, hal ini masih sangat jauh dari keadilan. Bagaimana bisa kerugian dihitung selama belasan tahun, sedang keuntungan justru dihitung setahun belakangan. Makanya ketemu angka 22 triliun yang fantastis itu.