Mohon tunggu...
Dinda Sastra
Dinda Sastra Mohon Tunggu... Penulis - cewek kuat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pakar Hukum UI, Eva Achjani Kecam Hukuman Mati Terdakwa Asabri, Jaksa Harus Lebih Cermat!

10 Desember 2021   18:01 Diperbarui: 10 Desember 2021   18:01 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau sebelumnya  kecaman hukuman mati terdakwa Asabri berasal dari pakar hukum serta guru besar UNAIR dan ICW, kali ini kecaman dilontarkan pakar hukum UI. Dosen UI ini menyorot keras keanehan tuntutan pada Heru Hidayat. Jelas saja satu persatu akademisi memprotes.

Karena pasal yang dikenakan tak sesuai, juga aka nada efek negatif yang dirasakan di masa mendatang, terutama iklim investasi tanah air. Kejaksaan harusnya berhati-hati dalam menerapkan tuntutan, bukannya sekedar pencitraan agar dianggap tegas saja.

Netizen juga mulai membandingkan kasus Asabri dan korupsi Juliari. Meski suara ini kebanyakan dari oposisi, tapi patut dijadikan masukan. Ini lantaran korupsi yang dilakukan Juliari berada di saat negara terdampak pandemi yang mana memang ada peringatan hukuman mati agar tak korupsi.

Namun, nyatanya vonis Juliari hanya penjara selama 12 tahun. Termasuk mantan jaksa Pinangki yang hanya kena vonis 4 tahun karena tuntutan ringan kejaksaan. Hal ini lantas menjadi pertanyaan. Apakah lantaran Heru bukan orang partai atau mantan jaksa lantas ia dituntut sedemikian rupa?

Kecaman hukuman mati dari dosen UI sebelumnya diberitakan salah satu media mainstream. Staf pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, mengatakan terdapat perbedaan pasal yang dikenakan jaksa terhadap Heru, yakni didakwa Pasal 2 ayat 1.

  Namun, dalam tuntutan dikenakan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Padahal dakwaan pada dasarnya merupakan mahkota yang dimiliki jaksa.

"Maka dari itu, dakwaan harus jelas dan cermat seta lengkap. Kekeliruan dalam dakwaan menyebabkan dakwaan batal demi hukum. Lihat Pasal 143 KUHAP. Karena dakwaan adalah panduan bagi jaksa dan hakim dalam memeriksa perkara," kata dia saat dihubungi, Kamis (9/12).

Eva melihat jaksa tidak menyelaraskan dakwaan dengan tuntutan. Sementara tuntutan yang sudah dijatuhkan adalah seumur hidup, maka yang berlaku adalah stelsel pemidanaan absorpsi, di mana pidana kemudian diserap pada waktu sebelumnya.

"Pengulangan tindak pidana atau recidive pada dasarnya adalah keadaan yang memperberat. Makna recidive atau pengulangan, apabila terdakwa sebelumnya telah divonis bersalah dan telah menjalani sebagian atau seluruh pidananya," terangnya.

  Namun, lanjut dia, dalam perkara terdakwa Heru Hidayat yang ada bukan pengulangan. Sebagaimana syarat pengulangan yang tertulis dalam Pasal 486-489 KUHP, tetapi bersamaan tindak pidana atau samenloop atau disebut juga concursus.

Tindakan tersebut ancaman pidananya mengacu pada Pasal 65 KUHP, yaitu yang terberat lebih dari 1/3 dari ancaman pidana. Mengacu pada Pasal 2 ayat 1 yang terdapat dalam dakwaan Heru Hidayat, ancaman hukumannya 15 tahun ditambah 1/3 dari total hukuman terberat 15 tahun, yakni 20 tahun.

Karena ancamannya tidak digabungkan dalam dengan Jiwasraya, maka dianggap sebagai delik tertinggal, Pasal 71 KUHP. Maka perhitungannya 20 tahun pidana yang telah dijatuhkan dalam vonis sebelumnya," paparnya.

Dia melihat tuntutan jaksa terhadap Heru Hidayat justru menggunakan Pasal 2 Ayat 2 yang merupakan bentuk pemberatan atas Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Bila tindak pidana dalam keadaan tertentu, pelaku dapat diperberat hukumannya, misalnya korupsi dalam keadaan bencana.

Opini tegas dari pakar hukum UI ini seharusnya bisa menampar keras institusi Kejaksaan. Jangan sampai karena tindakan konyol jaksa, negara jadi bulan-bulanan masyarakat.

Penegak hukum yang diharapkan menegakkan keadilan jangan sampai dicap tak adil karena memaksakan tuntutan dan memberatkan hukuman pada satu pihak saja. Justru semakin dipaksakan, semakin terlihat akal-akalan kejaksaan.

Lantas di mana belasan nama lain yang sebelumnya disebut-sebut dalam persidangan Jiwasraya. Kenapa tak berani memanggil Bakrie, Dato Sri Tahrir, hingga Erick Thohir? Kenapa hanya pada swasta saja mereka garang sedemikian rupa?

Pada artikel selanjutnya, saya ingin menuliskan dampak hukuman mati pada investor. Sama seperti ketika saya membela Dirut KCN yang didzolimi Dirut BUMN ( PT KBN) dulu. Jangan sampai investor terus dikorbankan, apalagi jadi tumbal kerekahan sekelompok orang.

Coba lihat saja bagaimana perkembangan kasus ini ke depan. Apakah Kejaksaan akhirnya insaf dan mengenakan tuntutan sesuai pasal atau malah sebaliknya kian membabi buta?

Kalau sebelumnya Pinangki mereka tuntut hukuman mati beserta direksi dan komisari Jiwasraya dan Asabri, tentunya kita juga akan mendukung hukuman mati kepada swasta. Sebaliknya jangan sampai jadi preseden buruk ketika ornag pemerintah dituntut rendah, sedang yang dari swasta diberatkan hingga meminta nyawa.

Referensi:

https://m.jpnn.com/news/tuntutan-hukum-mati-heru-hidayat-dinilai-tidak-cermat-begini-analisis-pakar-hukum-pidana-ui

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun