Melihat posisi Heru Hidayat yang dituntut hukuman mati di kasus Asabri saat ini mengingatkan kita pada kasus perseteruan antara pihak swasta dan direksi perusahaan negara. Kejaksaan di lain pihak sepertinya ingin menjaga nama baiknya agar terlihat garang dihadpan koruptor, padahal sejatinya mereka ciut nyali menghadapi pejabat negara.
Tengoklah kasus perseteruan antara PT KCN dan Dirut PT KBN (salah satu BUMN) di proyek reklamasi Jakarta. Bagiamana Dirut PT KBN begitu dzolim pada perusahaan swasta dengan mengubah kontrak sesuka hati dan membuat pihak swasta merugi. Di lain pihak pemerintah dan Jokowi tengah habis-habisan memulihkan kepercayaan swasta lewat aturan yang menguntungkan iklim investasi.
RUU omnibus law yang didemo habis-habisan sejatinya dirancang agar para investor swasta tak segan menanamkan modal dengan memudahkan aturan dan memangkas sejumlah alur investasi. Dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, sejatinya pihak-pihak swasta seperti Benny dan Heru tak bisa dipermasalahkan secara hukum. Apalagi kewenangan mengatur uang nasabah berapa di tangan direksi dan manajemen perusahaan negara.
Namun, nyatanya keprihatinan perilaku para penegak hukum kita, terutama jaksa malah terpampang nyata. Direksi yang bersalah karena memutar uang justru diberi tuntutan seumur hidup di kasus Jiwasraya dna hanya sepuluh tahun di kasus Asabri. Anehnya, pihak swasta yang diajak kerja sama malah diberi tuntutan hukuman mati dengan alasan mengulang perbuatan korup, merugikan negara dalam jumlah besar dan merugikan pensiunan militer.
Menurut pakar hukum yang juga guru besar Universitas Airlangga (UNAIR), tuntutan hukuman mati tidaklah tepat dikenakan pada Heru yang merupakan pihak swasta. Pasalnya, perbuatan koruptonya di kasus Asabri bukanlah perulangan kasus Jiwasraya karena keduanya terjadi bersamaan. Artinya tuntutan jaksa terlalu mengada-ada dan ada kesan pencitraan agar dianggap pahlawan.
Bahkan ICW lewat berita media tirto bereaksi keras menyindir kejaksaan. Mereka mempertanyakan kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri tuntutannya sangat tinggi, sedangkan terhadap Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum, melakukan banyak kejahatan, bekerja sama dengan buronan justru malah dituntut rendah.
Bisa jadi tuntutan pada Heru Hidayat sejatinya dilakukan untuk menutupi borok kejaksaan yang terkesan mandul menghadapi kasus Djoko Tjandra dan Pinangki. Apalagi dikabarkan ada aliran dana ke petinggi kejaksaan hingga penyebutan nama Burhanudin. Harusnya konsen hukuman mati diberlakukan juga bagi penyelenggara negara yang nakal, apalagi profesinya tak main-main.
Makanya tak salah kalau Arteria Dahlan sebelumnya geram dengan sikap kejaksaan. Dirinya sampai menantang kejaksaan untuk memanggil Bakrie hingga Dato Sri Tahrir. Bukannya tanpa sebab, karena catatan sejarah menunjukkan Lembaga penegak hukum ini tajam ke pihak swasta, tapi lembek ke pejabat negara dan kroninya.
Tak heran kalau saat penangkapan Djoko Tjandra tiba-tiba ada kebakaran Gedung kejaksaan yang ditengarahai untuk menghilangkan barang bukti. Bahkan kemudian menjadi lucu dengan menjadikan tukang bangunan sebagai tersangka. Kalau begini terus mental yang dimiliki Lembaga penegak hukum kita, kapan keadilan bisa tercapai. Kapan pihak swasta mendapat perlakuan yang sama dengan pejabat negara?
Karena sejatinya keadilan tak hanya berupa pembangunan merata saja. Keadilan di depan hukum juga merupakan bentuk keadilan utama yang harus disegerakan. Sebelum itu terjadi, dua periode kepemimpinan Jokowi tak akan mampu membawa keadilan menyeluruh. Bahkan Jokowi sendiri sempat menyindir kapolda dan kapolsek baru yang sowan pada pimpinan ormas. Beda kasusnya kalau orang biasa, jangankan sowan, yang ada langsung di tendang ke dalam penjara.
Jaksa agung yang dipilih presiden saat ini memang bukanlah titipan partai dan murni berasal dari professional. Tapi, ingat terkadang Jokowi juga salah pilih seperti saat menjadikan Gtot Nurmantyo sebagai panglima. Pilihannya apakah mau menyudahi kekacauan ini dan mengembalikan kepercayaan investor atau menunggu hingga keadilan di depan hukum tak akan pernah diwujudkan.
Sebenarnya kita yakin para kejaksaan yang memberi tuntutan mati ingin pula bertindak tegas pada kasus lain. Cuma terkadang nyali mereka langsung ciut Ketika melihat nama besar hingga keberaniannya dilampiaskan pada kasus lain yang melibatkan swasta. Dilema sudah seharusnya direvolusi agar marwah penegak hukum tidak jatuh semakin dalam.
Referensi:
https://tirto.id/alasan-icw-tak-setuju-hukuman-mati-untuk-koruptor-gl6m
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H