Mohon tunggu...
Nihayatu Saadah
Nihayatu Saadah Mohon Tunggu... Penulis - A life-long learner

Trying to be active in Kompasiana^^ [IG:fforcess]

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saatnya Kembali Belajar Tahun 2021? Begini Kabar Guru Les Selama PJJ

3 Januari 2021   14:55 Diperbarui: 3 Januari 2021   15:08 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stock.adobe.com By Brad Pict

Rasanya sebal-sebal sendiri ketika pembahasan belajar selalu dikaitkan pandemi Covid-19. Merasa bosan saja, sekian lama kita terus-terusan membahas keduanya sebagai isu hangat yang tak bisa dipisahkan. 

Ada yang namanya 'kubu Pro Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)' dan 'kubu Kontra', yang keduanya selalu beradu argumen kuat untuk menyatakan aspirasinya. Hingga kita gundah gulana dengan alasan--tidak ada dari keduanya yang salah atas argumen yang disampaikan. 

Kemudian kita mencoba mencari solusi, menyampaikan kabar gembira dengan sistem konditional. Tapi endingnya, kita di PHP-in. Kita dilemahkan oleh keadaan. Pandemi lagi-lagi menggagalkan kabar baik untuk kembali belajar normal tatap muka di kelas.

Ya, kini pupuslah sudah harapan kita semua--para guru, orang tua, mahasiswa, dan siswa yang sebelumnya telah bersemangat untuk kembali belajar normal di awal tahun baru 2021. 

Masih ingat sekali kabar bahagia dua bulan yang lalu, yang disampaikan bahwa pembelajaran tatap muka bisa dimulai di awal tahun, meski masih kondisional dengan keputusan secara otonom masing-masing daerah. Semua pihak menunjukkan antusiasmenya, bahkan orang tua juga turut mengembangkan senyum kelegaan. 

Tapi kemudian semangat tinggi ini dipupuskan dengan kabar kemunculan varian baru covid-19 yang lebih mengkhawatirkan. Hingga statement lebih baik pembelajaran tatap muka ini ditunda telah digaungkan demi keselamatan orang-orang yang kita sayangi. Jelas tiada orang yang bersedia mengambil risiko besar itu.

Namun para orang tua serta pihak lain yang berada di kubu Kontra PJJ hendaknya tidak salah paham atas keputusan ditundanya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang awalnya direncanakan awal tahun 2021. 

Sebab, ini bukanlah keputusan saklek otoriter yang diterapkan oleh pusat, dalam hal ini adalah Kemendikbud. Melainkan, kebijakan ini telah diserahkan kepada masing-masing daerah, sekolah, serta orang tua. Justru, PTM sangat dianjurkan apabila secara zonasi per daerah telah dipertimbangkan aman untuk melaksanakan PTM. 

Kemendikbud hanya tak ada hentinya mengingatkan bahwa pandemi masih belum berakhir. Maka hendaknya pemerintah daerah, pihak sekolah, serta para orang tua harus tetap waspada dan sebisa mungkin menekan laju penyebaran covid-19 melalui klaster sekolah.

Saya sendiri sedih melihat fakta kabupaten Jepara mencatatkan diri sebagai daerah berisiko tinggi angka paparan covid-19. Di dalam data disajikan bahwa saat ini terdapat 1.004 orang dinyatakan positif, dengan angka meninggal sejauh ini sebanyak 282 jiwa (update tanggal 02 Januari 2021). 

Hampir mendapatkan angin segar selama beberapa bulan sebelum akhir tahun 2020, bersamaan dengan digaungkannya kabar baik untuk kembali mengadakan pembelajaran tatap muka. Namun di pertengahan bulan Desember 2020, ditemukan klaster baru penyebaran Covid yang ternyata adalah dari klaster sekolah, dimana di sekolah tersebut sedang dijadikan uji coba pengadaan kelas tatap muka untuk persiapan kembali ke sekolah awal tahun baru. Maka sebagai respon cepatnya, keputusan ditutupnya kembali sekolah mau tidak mau harus dilakukan dan PTM kembali ditunda.

Tangkapan layar kasus Covid-19 di Jepara (www.corona.jepara.go.id)
Tangkapan layar kasus Covid-19 di Jepara (www.corona.jepara.go.id)
Tangkapan layar status Kabupaten Jepara sebagai Zona Merah (www.corona.jepara.go.id)
Tangkapan layar status Kabupaten Jepara sebagai Zona Merah (www.corona.jepara.go.id)

Lalu bagaimanakah respon akhir orang tua yang paling banyak mencatatkan diri di kubu Kontra PJJ?

Dapat dikatakan bahwa orang tua adalah pihak yang paling galau. Mereka bimbang dengan keputusan diantara PJJ atau PTM. Apabila pembelajaran terus-terusan dilakukan secara non-tatap muka, antusiasme belajar anak jadi berkurang. Orang tua juga terepotkan dengan kehadiran mereka yang selalu dibutuhkan untuk mendampingi belajar anak. 

Sedangkan di lain sisi, apabila PTM mereka paksakan untuk dilakukan, sedangkan keadaan wilayah masih belum mendukung, mereka dapat dikatakan dengan sengaja menempatkan orang yang mereka sayangi dalam bayang-bayang kekhawatiran. Tidak menutup kemungkinan bahaya paparan virus ini siap mengintai di lingkungan sekolah.

Dari sinilah kemudian saya tertarik memaparkan kabar dari guru les selama PJJ berlangsung. Dapat kita catat bahwa PJJ telah berlangsung selama kurang lebih 10 bulan (terhitung dari bulan pertama penetapan sekolah daring). Mungkin di 5 bulan pertama, orang tua masih kuat menghadapi situasi ini. Mereka dengan besar hati meluangkan waktu mendampingi belajar anak di rumah di tengah kesibukan harian yang sama pentingnya. 

Namun setelah 5 bulan, kepanikan mulai muncul. Tentu saja kepanikan tersebut disebabkan keadaan yang terus-terusan memaksa mereka standby mendampingi belajar anak. Padahal seharusnya bukan itu tugas utama mereka setiap harinya. Malah masih ditambah dengan fakta lain yang dirasa lebih menggalaukan mereka lagi. Yaitu, seperti kesulitan membagi waktu, kesulitan materi bahan ajar yang diluar kemampuan orang tua, fakta anak yang susah nurut belajar dengan orang tua, anak yang cenderung menganggap enteng pembelajaran selama PJJ, dan lain sebagainya.

Maka yang menjadi salah satu bentuk solusi yang diambil orang tua selama masa PJJ ini adalah menitipkan belajar anak kepada seorang guru les. Simak berikut kabar dari guru les selama masa PJJ.

1. Guru les menjadi alternatif orang tua. Sebagai informasi bahwa ada dua bentuk guru les yang menjadi pilihan orang tua selama PJJ ini. Yaitu guru yang datang ke rumah murid (visiting tutor) dan sebaliknya, murid yang datang ke rumah guru (visited tutor).  

Tentu kita tidak akan menyebutkan les yang atas nama lembaga, sebab itu sama halnya dengan belajar ke sekolah yang perlu adanya pengetatan protokol kesehatan di dalamnya. Guru les yang dimaksud disini juga cenderung guru yang tidak berada jauh jarak tempuh dari rumahnya ke rumah murid. Mungkin alasannya adalah jarak tempuh minimal diyakini dapat meminimalkan pula pembawaan virus dari luar.

Pada intinya, Guru les di musim pandemi ini sangat dibutuhkan kehadirannya untuk mengganti peran orang tua mendampingi keefektifan belajar anak. Hal ini dibuktikan dengan jumlah anak les yang lebih banyak daripada sebelum pandemi. Juga dibuktikan dari pengakuan para orang tua yang baru-baru ini mendaftarkan anaknya les karena mereka menemui kesulitan dalam materi belajar yang diluar kemampuan mereka.

2. Ekstra dalam memberi penjelasan. Kebetulan saya sudah menjalankan profesi sampingan sebagai guru les sejak lulus SMA. Baik menjadi visiting tutor maupun visited tutor, keduanya telah saya jalani. Namun kebetulan saja akhir-akhir ini saya lebih fokus menjadi visited tutor.

Dari situ saya dapat menginformasikan bahwa menjadi guru les terutama selama PJJ ini, perlu tenaga ekstra dalam memberi penjelasan. Sebab, benar adanya bahwa selama pembelajaran PJJ banyak ditemukan siswa-siswi yang hampir 80% belum memahami materi yang telah dijelaskan melalui daring. 

Saya pribadi berpendapat seharusnya kita tidak menyangkut-pautkan tingkat kecerdasan atau kepintaran si anak bila selama PJJ ini ada dari mereka yang belum mampu menyerap materi 100%, karena memang belajar itu perlu sekali kehadiran fisik seorang guru/tutor yang mampu menjawab kesulitan mereka, minimal memastikan apa yang mereka pelajari telah berhasil terserap. Juga kehadiran seorang guru mampu memantau perkembangan si anak secara detail apakah proses pembelajaran mereka bisa tercapai maksimal. 

Apabila ketiganya itu tidak diperhatikan orang dewasa/orang tua, maka belajar yang asal-asalanlah yang akan kita temukan dari si anak. Salah bila kita menyerahkan semua keputusan dan kebutuhan belajar pada anak secara penuh.

Kerap kali saya menjumpai anak-anak yang ketika awal berangkat les, mereka kesulitan memulai soal latihan yang akan dikerjakan. Ketika saya tanya, "Sudah dijelaskan sama bapak/ibu guru kan?" "Sudah mbk. Tapi nggk paham." "Kenapa nggk tanya? " "Nggk berani." Oke, dari situlah guru les mulai ekstra menempatkan diri. Menjalankan peran pembantu belajar yang sesungguhnya.

Menjadi lebih berbahaya bila alasan les dari si anak adalah demi mengerjakan tugas seabrek yang diberikan guru, yang justru oleh siswa bukan kualitas yang dipentingkan namun lebih ke kuantitas. Mereka bilang, "Halah, yang penting PR bisa selesai dan bisa dikumpulkan besok". OMG!

3. Ekstra meluangkan waktu. Sebagaimana poin 1 diatas, bahwa guru les adalah alternatif bagi para orang tua untuk mendampingi belajar anak. Sedangkan faktanya, menjadi guru les kebanyakan bukanlah profesi atau kesibukan utama yang dimiliki oleh seorang guru les. Kadang mereka memiliki profesi atau kesibukan lain dalam sehari-harinya, yang dengan alasan itulah seseorang baru dipercaya oleh para orang tua untuk menjadi pendamping belajar anak mereka. 

Kemudian dengan seiring bertambahnya anak yang membutuhkan pendampingan belajar, guru les itu sendiri kadang sudah capek dengan aktifitasnya seharian, tapi masih harus profesional menjalankan tugasnya ini. Jadi guru les harus pintar membagi waktu juga tenaga untuk melaksanakan tanggung jawabnya ini.

4. Di desa, ketataan protokol kesehatan belum terlalu diindahkan. Selama ini, anak-anak les belum ada yang tertib berangkat les dengan memakai masker. Begitupun ketertiban cuci tangan dan membawa hand sanitiser. Mungkin hal ini kembali lagi disebabkan keyakinan mereka akan jarak rumah yang dekat, jadi tidak perlu terlalu merisaukan risiko penularannya. 

Padahal saya sebetulnya tidak setuju dengan itu. Namun bagaimana lagi bila peringatan saya tidak juga diindahkan. Pernah suatu kali diawal-awal kepanikan pandemi, saya meminta seorang anak untuk les memakai masker, namun malah itu menjadi hari terakhirnya berangkat les. Haha

Pada akhirnya, peraturan les yang saya terapkan selama pandemi ini adalah tidak memperkenankan siswa yang ada gejala seperti batuk dan pilek untuk masuk les, tidak boleh saling berjabat tangan, harus selalu menjaga jarak, serta menyediakan tempat cuci tangan diluar.

Begitu juga ketika saya menanyakan beberapa rekan saya yang juga menjadi guru les, namun peran mereka sebagai visited tutor, mereka mengatakan bahwa penerapan protokol kesehatan juga tidak terlalu diketatkan. Atas kesadaran sendirilah, teman saya memakai masker apabila ada batuk-batuk ringan yang sedang dideritanya. Dia juga menekankan tidak boleh berjabat tangan selama pandemi ini.

Begitulah kabar guru les selama masa pembelajaran jarak jauh pandemi Covid-19. Dengan adanya ketetapan ditundanya pembelajaran tatap muka (fisik) di kelas, guru les juga mesti bersiap untuk kembali menerima jumlah anak les yang lebih banyak. Sebagai guru les yang budiman, WAJIB bagi kita juga untuk selalu ingat penerapan protokol kesehatan demi menekan angka penyebaran Covid-19.

Sekian. Salam sehat,

Jepara, 03 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun