Mohon tunggu...
Nihayatu Saadah
Nihayatu Saadah Mohon Tunggu... Penulis - A life-long learner

Trying to be active in Kompasiana^^ [IG:fforcess]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendapat Peran Ibu Sejak Kecil, Efeknya Sampai Dewasa!

28 November 2020   11:38 Diperbarui: 28 November 2020   11:49 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



Admin K memang jempolan  kalo soal menyuguhkan topik-topik menarik nan up to date untuk menstimulus ide kita muncul kepermukaan. Karena saya termasuk diantara warga yang selalu butuh stimulus untuk membantu ide-ide ini benar-benar menampakkan dirinya. Hahaha

Topik pilihan kompasiana kali ini berjudul "bertukar peran dalam  rumah tangga". Disana dijelaskan bahwa bertukar peran dalam rumah tangga diantara Ayah, Ibu, kakak, dan adik mungkin perlu dilakukan.  Sebab hal ini akan mampu menciptakan rasa tolong menolong diantara satu anggota keluarga, bisa saling mempelajari peran masing-masing yang jelas memang berbeda, serta dapat mendatangkan manfaat apabila terdapat salah satu anggota keluarga yang tidak di rumah, sehingga anggota keluarga lain dapat menggantikan sementara perannya tersebut. Menarik sekali bukan tema ini.

Dalam hidup berkeluarga, tentu setiap orang memiliki kisahnya masing- masing. Beragam kisah unik di dalam rumah yang membawa kesan dan cerita tersendiri bagi setiap anggotanya. Dimana kesan dan cerita yang dialaminya tersebut mungkin akan terus membekas dan bahkan dapat membentuk siapa dirinya di kehidupan yang akan datang. Seperti kisah hidup yang saya miliki ini yang menuntun saya menjadi siapa saya hari ini. Mendapatkan pembisaan hidup dan pendidikan keluarga salah satunya dalam bentuk "mendapatkan peran Ibu sejak kecil".

Sejagat bumi raya juga tahu bahwa orang yang paling sibuk di rumah adalah Ibu. Disaat ayah, kakak, dan adik semuanya sibuk di luar rumah untuk bekerja atau pergi sekolah, Ibulah yang akan membereskan segudang keruwetan di rumah. Piring kotor numpuk di dapur, cucian baju segunung, lantai kotor bikin ngeres, seisi rumah berantakan, sampah berserakan, kamar mandi bau, unggas yang tidak sempat dikasih makan oleh ayah sedang ngamuk, dan apa lagi?

Semuanya! Hampir semua urusan rumah, Ibu yang menyelesaikannya.  Belum lagi, bila si ibu adalah juga seorang wanita karir. Bayangkan saja harus bagaimana perjuangan seorang Ibu mengendalikan semuanya. Bayangan mengambil jasa asisten rumah tangga tentu hanya untuk beberapa orang saja, pertimbangan kondisi kantong  yang perlu tebal.

Wanita karir yang dimaksud disini tidak harus yang membidangi kegiatan professional sesuai bidang keahliannya ya, namun diartikan sebagai wanita yang juga memiliki kesibukan lain diluar rumah dalam rangka bekerja untuk mencari penghasilan membantu suaminya. Sudah barang tentu kalau kesibukannya menjadi dobel kan. Apabila seorang Ibu karir tersebut tidak dapat membuat alternative atau pemecahan atas kesibukannya yang dobel peran tersebut, kehidupannya sudah pasti tidak akan seimbang dan nyaman.

Dari sinilah kisahku dimulai, tentang bagaimana Ibu saya mengatur keseimbangan urusan perempuan sebagai penanggung jawab utama urusan rumah tangga dengan melibatkan peran anak-anaknya, ditengah peran gandanya sebagai Ibu rumah tangga seligus pencari nafkah ke-dua setelah ayah.  Mengingat saat ini anak bungsunya sudah sebesar saya, maka cara-cara dibawah ini katakanlah sudah teruji klinis dan bisa diterapkan oleh generasi Ibu selanjutnya.

1. Learning by doing, atau istilah lainnya hands-on learning, merupakan metode pengajaran langsung praktik. Daripada murid terus-terusan diminta mendengarkan penjelasan bagaimana cara membuat nasi goreng telur, lebih baik murid langsung diberikan tugas praktik memasaknya. Itu akan lebih nyata kerjanya.

Begitulah ketika Ibu menginginkan kami, anak-anaknya, untuk bisa memasak tumis kacang panjang untuk lauk makan malam, teknik beliau, selain juga diajak masak bersama, banyak kesempatan beliau memakai teknik pesan. "Nanti Ibu pulang agak sorean. Tolong kamu yang masak ya. Bahan-bahannya sudah di kulkas. Tidak ada bumbu lain selain bawang merah, bawang putih, garam, gula, dan cabai". Sudah begitu saja yang beliau katakan. Dan entah kenapa tidak ada dari kami yang tidak melaksanakan. Dan entah kenapa juga, baik Bapak maupun Ibu tidak ada yang pernah mengatakan kalau masakan kami tidak enak. Makanan tetap habis semua. hihihi

2. Menerapkan sikap tegas dan nasihat masa depan. Saya katakan, ini adalah gaya khusus Ibu saya. Beliau benar-benar tegas dalam membangun kebiasaan untuk kami dapat mengurus urusan rumah. Apalagi bagi anak perempuan, yang oleh beliau selalu diberikan tausiah harian bahwa perempuan mau jadi apapun nanti dimasa depan (sampai misalnya jadi presiden, menteri, direktur sekalipun), dia tetap akan memiliki kewajiban mengurus keluarganya, memberi makan suami dan anak-anaknya, dan membersihkan rumahnya. Jangan seratus persen mengandalkan asisten rumah tangga.

Ya, Ibuku memang ustadzah terbaik kalau bab kerumahtanggaan.

3. Dimulai dari si sulung sampai si bungsu. Ibu tidak pernah membeda-bedakan perlakuannya kepada si anak ke berapa, si sulung atau si bungsu. Apalagi semuanya perempuan. Selagi semuanya sudah terlihat mampu melakukan pekerjaan rumah apapun, semuanya harus bisa melakukan pekerjaan itu, semuanya harus dibiasakan untuk bisa --memasak, menyapu, nyuci piring, nyuci baju, ngepel, nyetrika, dll. Sampai si anak lepas dari tanggung jawab orang tua dan mengurus keluarga barunya nanti. Dengan ini, setiap anak akan merasa diperlakukan adil. Kurang lebih yang ada dipikiran si anak, (anak kedua sampai bungsu) adalah "dahulu si mbk juga mau disuruh memasak, kenapa aku enggak? "...

4. Membangun kebiasaan baik itu. Saya mengakui bahwa semua kebiasaan baik tidak semudah itu dibentuk. Karena entah mengapa, rasa malas pasti selalu menghampiri amal kebaikan. Apalagi tentang membangun kebiasaan bisa melakukan pekerjaan rumah tangga (chores), siapapun pasti butuh sesuatu yang bisa mengaktifkan pembiasaan dalam diri setiap individu. Misalnya anak kos dapat terbiasa mengurus pekerjaan rumahnya sendiri karena tuntutan keadaan. Misalnya lagi, seorang wanita yang sampai ijab qobul menikah sama sekali tidak pernah menyentuh urusan beres-beres rumah. Jangankan beres-beres, masak aja tidak bisa, karena sebelumnya tidak pernah melakukan, hingga kemudian dia bisa melakukan semuanya karena telah terbiasa setelah mendapat tanggung jawabnya langsung.

Kalau cara ibuku, urusan ini harus dibangun sedari kecil. Anak harus diminta langsung mengerjakannya. Diberi hadiah bila perlu, dimarahi bila tidak mau melaksanakan. Alright, mom !

5. Suri tauladan orang tua. Bukan hanya dalam pendidikan karaktek yang memerlukan tauladan, urusan menanamkan kebiasaan BISA melakukan pekerjaan rumah tangga, juga butuh contoh. Anak meniru itu dari orang tuanya. Karena saya melihat Bapak Ibu bisa mencuci baju manual, maka aku juga bisa. Ibu bisa memasak, aku juga bisa. Ibu bisa jahit baju manual, aku juga bisa. Ibu bisa menyapu dan ngepel, Bapak mau menyetrika dan mencuci piringnya sendiri, Ibu bisa manjat tangga untuk memasang lampu, maka aku juga harus bisa. Ya begitulah, aku belajar melakukan semuanya dari mereka.

freepik.com
freepik.com

Tentu yang menjadi catatan bermanfaat atas diberikannya peran Ibu (dapat melakukan pekerjaan rumah dengan baik ) kepada anak adalah tentang membangun kebiasaan  itu sejak kecil.  Bukankah setiap dari kita diharapkan mampu melakukan pekerjaan rumah, supaya kita tidak terus bergantung kepada orang tua dalam mengurus urusan kita sendiri nantinya. Karena kita tidak akan terus hidup bersama mereka. Ada saat kita memiliki kehidupan sendiri, terpisah dari orang tua.  Melalui pembiasaan dari kecil, kita yang perempuan bisa langsung dapat menjalankan peran Ibu rumah tangga, atau bagi laki-laki bisa membantu sang istri melakukannya. Dan dapat dilanjutkan kembali kebiasaan ini kepada anak cucu nanti.

Kemudian tentang membangun kebiasaan, saya pribadi selalu sepakat bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam kurun waktu yang lama, melalui pembiasaan sejak dini, itu akan membangun kebiasaan dalam diri sampai bisa dilakukan SELAMANYA. Dan ketika itu sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka apabila tidak dilakukan, akan ada perasaan tidak nyaman dalam diri.

Salah satu bentuk ketidaknyamanan yang saya rasakan adalah ketika melihat sesuatu yang kotor, berserakan, dan tidak rapi di rumah (mungkin hanya di rumah, upz), rasanya ingin sekali membereskan semuanya. Dan akan tidak nyaman bila hal itu belum dilaksanakan. Meski dengan sedikit menunda waktu karena ada rasa malas yang melanda, tapi itu kuanggap wajar. Yang penting nanti akan saya laksanakan tanpa menunggu perintah.

Dan ada satu hal lagi yang menjadi salah satu efek dari mendapat peran dari Ibu sejak kecil yang saya rasakan hari ini adalah rasa tanggung jawab akan pekerjaan itu tanpa Ibu perlu harus menyuruh saya melaksanakanya. Saya pikir, itu antara sebuah tanggung jawab dan rasa Iba kepada orang tua. Mungkin waktu kecil, masih ada rasa keberatan karena disuruh-suruh melakukan ini itu disaat masih sibuk bermain. Namun kini, ketika kedua orang tua sudah  sama sepuhnya, rasa tanggung jawab dan Iba lebih mendominasi. Diimbangi dengan pemikiran dewasa bahwa mengapa tidak saya yang melakukannya disaat saya sudah mampu melakukannya dengan baik, dan orang tua juga sudah kondisi lemah fisik.

Jepara, 28 November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun