3. Dimulai dari si sulung sampai si bungsu. Ibu tidak pernah membeda-bedakan perlakuannya kepada si anak ke berapa, si sulung atau si bungsu. Apalagi semuanya perempuan. Selagi semuanya sudah terlihat mampu melakukan pekerjaan rumah apapun, semuanya harus bisa melakukan pekerjaan itu, semuanya harus dibiasakan untuk bisa --memasak, menyapu, nyuci piring, nyuci baju, ngepel, nyetrika, dll. Sampai si anak lepas dari tanggung jawab orang tua dan mengurus keluarga barunya nanti. Dengan ini, setiap anak akan merasa diperlakukan adil. Kurang lebih yang ada dipikiran si anak, (anak kedua sampai bungsu) adalah "dahulu si mbk juga mau disuruh memasak, kenapa aku enggak? "...
4. Membangun kebiasaan baik itu. Saya mengakui bahwa semua kebiasaan baik tidak semudah itu dibentuk. Karena entah mengapa, rasa malas pasti selalu menghampiri amal kebaikan. Apalagi tentang membangun kebiasaan bisa melakukan pekerjaan rumah tangga (chores), siapapun pasti butuh sesuatu yang bisa mengaktifkan pembiasaan dalam diri setiap individu. Misalnya anak kos dapat terbiasa mengurus pekerjaan rumahnya sendiri karena tuntutan keadaan. Misalnya lagi, seorang wanita yang sampai ijab qobul menikah sama sekali tidak pernah menyentuh urusan beres-beres rumah. Jangankan beres-beres, masak aja tidak bisa, karena sebelumnya tidak pernah melakukan, hingga kemudian dia bisa melakukan semuanya karena telah terbiasa setelah mendapat tanggung jawabnya langsung.
Kalau cara ibuku, urusan ini harus dibangun sedari kecil. Anak harus diminta langsung mengerjakannya. Diberi hadiah bila perlu, dimarahi bila tidak mau melaksanakan. Alright, mom !
5. Suri tauladan orang tua. Bukan hanya dalam pendidikan karaktek yang memerlukan tauladan, urusan menanamkan kebiasaan BISA melakukan pekerjaan rumah tangga, juga butuh contoh. Anak meniru itu dari orang tuanya. Karena saya melihat Bapak Ibu bisa mencuci baju manual, maka aku juga bisa. Ibu bisa memasak, aku juga bisa. Ibu bisa jahit baju manual, aku juga bisa. Ibu bisa menyapu dan ngepel, Bapak mau menyetrika dan mencuci piringnya sendiri, Ibu bisa manjat tangga untuk memasang lampu, maka aku juga harus bisa. Ya begitulah, aku belajar melakukan semuanya dari mereka.
Tentu yang menjadi catatan bermanfaat atas diberikannya peran Ibu (dapat melakukan pekerjaan rumah dengan baik ) kepada anak adalah tentang membangun kebiasaan  itu sejak kecil.  Bukankah setiap dari kita diharapkan mampu melakukan pekerjaan rumah, supaya kita tidak terus bergantung kepada orang tua dalam mengurus urusan kita sendiri nantinya. Karena kita tidak akan terus hidup bersama mereka. Ada saat kita memiliki kehidupan sendiri, terpisah dari orang tua.  Melalui pembiasaan dari kecil, kita yang perempuan bisa langsung dapat menjalankan peran Ibu rumah tangga, atau bagi laki-laki bisa membantu sang istri melakukannya. Dan dapat dilanjutkan kembali kebiasaan ini kepada anak cucu nanti.
Kemudian tentang membangun kebiasaan, saya pribadi selalu sepakat bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam kurun waktu yang lama, melalui pembiasaan sejak dini, itu akan membangun kebiasaan dalam diri sampai bisa dilakukan SELAMANYA. Dan ketika itu sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka apabila tidak dilakukan, akan ada perasaan tidak nyaman dalam diri.
Salah satu bentuk ketidaknyamanan yang saya rasakan adalah ketika melihat sesuatu yang kotor, berserakan, dan tidak rapi di rumah (mungkin hanya di rumah, upz), rasanya ingin sekali membereskan semuanya. Dan akan tidak nyaman bila hal itu belum dilaksanakan. Meski dengan sedikit menunda waktu karena ada rasa malas yang melanda, tapi itu kuanggap wajar. Yang penting nanti akan saya laksanakan tanpa menunggu perintah.
Dan ada satu hal lagi yang menjadi salah satu efek dari mendapat peran dari Ibu sejak kecil yang saya rasakan hari ini adalah rasa tanggung jawab akan pekerjaan itu tanpa Ibu perlu harus menyuruh saya melaksanakanya. Saya pikir, itu antara sebuah tanggung jawab dan rasa Iba kepada orang tua. Mungkin waktu kecil, masih ada rasa keberatan karena disuruh-suruh melakukan ini itu disaat masih sibuk bermain. Namun kini, ketika kedua orang tua sudah  sama sepuhnya, rasa tanggung jawab dan Iba lebih mendominasi. Diimbangi dengan pemikiran dewasa bahwa mengapa tidak saya yang melakukannya disaat saya sudah mampu melakukannya dengan baik, dan orang tua juga sudah kondisi lemah fisik.
Jepara, 28 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H