Mohon tunggu...
Kurniawan Dinihari
Kurniawan Dinihari Mohon Tunggu... -

Muslim pertengahan yang suka jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

3 x 1 Air Terjun 2011: Curug Sidoharjo Samigaluh Kulonprogo

24 November 2011   00:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:17 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi seorang petualang, mengunjungi objek yang sama lebih dari satu kali bisa jadi adalah sebuah anomali. Naluri petualang, tentu saja adalah menemukan tempat-tempat baru, bukan mengulang-ulang mengunjungi satu tempat tertentu. Tapi jika objek yang satu itu memiliki daya tarik lebih, apa mau dikata. Seperti yang saya lakukan di air terjun Sidoharjo, di Samigaluh Kulonprogo. Sepanjang tahun 2011 ini, sudah tiga kali saya menyambangi tempat tersebut. Dan ketiga-ketiganya memiliki sensasi tersendiri. Lhoh, bagaimana bisa? Toh, tempatnya sama saja? Nah, itu dia yang hendak saya bagi di sini.

Latar Belakang Kunjungan

Bagaimana bisa berkunjung ke sana sampai tiga kali? Alasan secara generalnya adalah suasana pedesaan daerah pegunungan yang sangat asri, sejuk, dingin, menyegarkan. Tidak hanya objek pokoknya saja yang menarik, tetapi pemandangan persawahan yang dikelilingi hijau pepohonan sangat menyejukkan, apalagi jika hati sedang diliputi kegalauan. Untuk sebab khususnya, tentu saja kunjungan pertama karena saya belum pernah ke lokasi tersebut. Kebetulan ada teman yang sebenarnya tidak terlalu dekat (karena beda jurusan kuliah dan bukan tipikal orang yang senang jalan-jalan seperti saya) mengajak saya ber-rekreasi. Kalau boleh saya bilang, teman saya yang satu ini sedang galau di bidang akademik. Meskipun dia yang mengajak, tetapi untuk masalah tempat dia mempercayakan kepada saya. Akhirnya saya bawa saja dia ke tempat ini, yang keberadaan lokasinya sudah saya dapatkan sebelumnya dari posting-posting blog di internet.

Untuk kunjungan kali kedua dan ketiga, sebabnya lain lagi. Kunjungan kedua, saya mencoba berbagi ke teman-teman saya yang lain bahwa ada air terjun yang bagus di Samigaluh Kulonprogo. Dan ternyata mereka cukup antusias. Dan kalau di kunjungan pertama saya hanya berdua saja dengan teman saya, maka untuk kali kedua saya berlima orang. Bisa dibilang, karena untuk kali kedua ini benar-benar direncanakan walaupun hanya sehari sebelum keberangkatan. Adapun kunjungan saya yang terakhir, lagi-lagi didasari kegalauan. Tidak ada rencana sama sekali. Sebagai mahasiswa yang sedang berjuang, ketika itu saya bersama seorang kawan saya satu jurusan hendak bertemu (lebih tepatnya mencegat) dosen untuk meminta masukan terhadap progress tugas akhir kami. Tetapi dosen saya tersebut keberatan dengan alasan sedang sibuk. Karena hari masih siang, saya dan kawan saya yang memang bukan tipikal orang yang suka pulang siang, ditambah saya pribadi ada janji bertemu informan untuk tugas akhir baru pada sore menjelang petang hari, maka kami putuskan untuk mengisi waktu siang ke air terjun (curug) Sidoharjo.

Reportase di TKP

Air terjun (curug) Sidoharjo ini lokasinya sangat tersembunyi. Untuk menuju ke TKP, saya harus memarkir motor cukup jauh dari lokasi, yaitu di rumah Bapak Dukuh. Dari situ perjalanan dilanjutkan berjalan kaki kira-kira 500 meter, pertama-tama menyusuri jalan setapak di samping atas sawah. Kemudian masih mengikuti jalan setapak tetapi mengikuti semacam parit (saluran air) yang dikelilingi tebing dan rimbun pepohonan, sampai menemukan jalan setapak yang menurun. Menariknya, untuk menuju air terjun utama, saya harus menyeberangi semacam sungai kecil selebar 2 meter tetapi berkemiringan 40-50 derajat (kira-kira saja). Saya tidak tahu apakah itu layak disebut air terjun atau sungai biasa. Yang jelas walaupun lebarnya kecil, tetapi debet airnya cukup deras sehingga harus berhati-hati saat menyeberanginya. Setelah melewati sungai sempit nan curam tersebut, saya sudah dapat melihat dan mendengar air terjun utama. Mendekati kolam air terjun, terdapat hamparan bebatuan kecil dan semacam taman bunga yang terbentuk secara alami. Ketinggian air terjun sendiri cukup menjadi perdebatan dalam tiga kali kunjungan saya kesana. Rata-rata teman saya meyakini ketinggiannya tidak lebih dari 50 meter, kebanyakan mengira-ira antara 35-45 meter. Saya sendiri tidak hirau dengan hal itu. Yang terpenting hawa sejuk dan cipratan air yang menyegarkan bisa saya rasakan.

Itu adalah gambaran umum tentang curug Sidoharjo. Lalu bagaimana gambaran khusus tentang tempat tersebut dalam kunjungan saya yang pertama, kedua, dan ketiga? Untuk pertemuan pertama, yaitu sekitar bulan Februari 2011, saya benar-benar kagum pada tempat ini. Ada surga yang tersembunyi, pikir saya. Apalagi ketika itu, air yang jatuh dari atas demikian derasnya (barangkali karena saat itu adalah puncak musim hujan), sampai-sampai kami tidak cukup berani sangat dekat dengan kolam air terjunnya. Jalan berupa bebatuan kecil menuju kolam air terjun dialiri air yang meluap dari danau air terjun dan terasa sangat dingin. Dari kejauhan pun cipratan air terjun dapat megenai pakaian kami. Teman saya tampak sangat menikmati suasana dingin menyegarkan itu. Sementara saya, tentu saja lebih senang mengambil gambar. Tetapi untuk mendapatkan view air terjun secara utuh sangat sulit, karena saya mesti mengambil jarak yang cukup jauh dari kolam air terjun. Secara umum kunjungan pertama tersebut sangat mengesankan, apalagi saat itu hanya kami berdua yang mengunjugi curug Sidoharjo tersebut. Kalau bukan karena kedinginan dan hujan gerimis yang tiba-tiba datang, mungkin kami akan betah berlama-lama di sana.

Adapun kunjungan kedua adalah benar-benar sebuah kekecewaan. Suasana rekreasi yang sudah terasa dengan lima orang personil (jauh lebih kondusif daripada hanya berdua) buyar gara-gara kami melupakan fakta penting yang telat kami sadari: musim kemarau. Kunjungan saya yang kedua (pertama bagi keempat kawan saya) adalah pada bulan September, bulan dimana hujan belum turun, dan panas terik hampir setiap hari. Kecurigaan saya baru mulai terasa ketika hamparan sawah berbentuk sengkedan di pinggir jalan setapak yang dulu seingat saya sangat hijau, hari itu tampak berbeda. Sebagian besar tanah tidak ditanami, dan kalaupun ditanami warnanya tampak coklat layu. Kemudian saluran air di pinggir jalan setapak juga kering, tidak dialiri air sama sekali. Bahkan sungai kecil berkemiringan curam yang dulu debet airnya deras juga kering kerontang. Benar saja, sampai di curug, pemandangan sangat jauh berbeda. Tidak ada air yang turun dari atas, selain yang turun perlahan mengikuti kontur tebing air terjun. Suara yang kami dengar hanyalah tetesan air. Kami bahkan bisa mendekat sampai persis di depan kolam air terjun yang terlihat surut, karena jalan bebatuan benar-benar kering, tidak terkena air sama sekali. Ternyata air terjun yang dalam kunjungan pertama saya banggakan tidak kalah dengan Grojogan Sewu Tawangmangu atau Kedung Kayang Magelang, kini turut menjadi korban kekeringan. Dan tentu saja teman-teman saya lebih kecewa lagi. Bagaimanapun juga, ini menjadi pengalaman baru bagi kami semua.

Tatap muka saya dengan curug Sidoharjo yang terakhir, baru pada 23 November kemarin. Walaupun tidak terencana cukup mengobati rasa kecewa saya pada kunjungan yang kedua. Pilihan untuk mengisi waktu siang di curug tersembunyi ini adalah rasa penasaran apakah curug ini, memasuki musim penghujan masih mengalami kekeringan atau sudah kembali berseri seperti dulu lagi. Ternyata jawabannya adalah yang kedua. Sawah-sawah sudah mulai menghijau, parit sudah kembali mengalir deras. Meski begitu, ingatan saya berkata, limpahan air yang jatuh masih kalah deras dibandingkan saat pertama kali saya bersua dengan curug Sidoharjo ini. Jalan bebatuan menuju kolam air terjun masih cukup kering meskipun cipratan air dari atas sudah mampu menjangkau beberapa meter dari kolam. Tetapi hal itu malah menyenangkan bagi saya dan kawan saya, karena kami dapat merapat dan merendam kaki di pinggir kolam. Yang tidak kalah menyenangkan, taman bunga di sisi kolam air terjun sudah kembali bersemi, sehingga sangat menarik untuk menjadi aksen bagi foto air terjunnya. Satu catatan penting lainnya, sepertinya air terjun Sidoharjo ini sudah mulai dikenal luas oleh masyarakat. Buktinya saat kami berjalan menuju lokasi, kami berpapasan dengan tiga pasangan muda-mudi yang hendak meninggalkan lokasi. Kemudian, giliran kami hendak berpisah dari TKP, datang 5-6 orang pemuda mengunjugi air terjun. Semoga dengan semakin dikenalnya curug Sidoharjo ini, tidak menghilangkan kesejukan dan nuansa alami surga yang tersembunyi ini.

Bagaimana menuju lokasi?

Air terjun Sidoharjo, sesuai dengan namanya berlokasi di Desa Sidoharjo, kecamatan Samigaluh, kabupaten Kulonprogo, DIY. Masyarakat setempat, sebagaimana saya ketahui saat pertama meluncur ke sana biasanya hanya menyebutnya curug saja. Jadi, jika anda hendak berkunjung dan sudah memasuki wilayah desa Sidoharjo, sebaiknya langsung saja bertanya kepada warga sekitar dan gunakan kata curug. Pertama kali datang ke sana, saya dan kawan bertanya kepada seseorang menggunakan kata air terjun dan grojogan. Ternyata orang yang saya tanya tersebut malah bingung dan mengaku tidak tahu. Tapi kemudian beliau mengatakan kalau curug malah tahu lokasinya. Selain memberi petunjuk lokasi, beliau juga mengarahkan untuk menitipkan sepeda motor di rumah bapak Dukuh karena membawa sepeda motor sampai di dekat air terjun tidak bisa dilakukan karena medan yang tidak memungkinkan.

Untuk menuju desa Sidoharjo tidak terlalu sulit. Dari kota Yogyakarta, saya menuruti jalan lurus Tugu Jogja ke barat (jalan Godean) sampai melewati jembatan Kali Progo. Setelah itu, ada persimpangan lampu merah (Kenteng), belok kanan ke arah Kalibawang sampai menemukan persimpangan lampu merah yang terdapat tugu (Dekso). Atau bisa juga menyusuri jalan dari terminal Jombor lurus ke barat tanpa berkelok-kelok selain mengikuti jalan utama. Nanti ujung-ujungnya pun akan sama sampai di persimpangan Dekso. Dari situ ikuti jalan menuju ke arah Samigaluh (ke barat) kira-kira 4-5 km sampai setelah melewati jembatan kecil ada kelokan yang diikuti tanjakan. Di sebelah kanan jalan terdapat plang bertuliskan “MTS Sidoharjo 4 km”, masuk ke jalan tersebut (masih jalan aspal) dan ikuti terus sampai menemukan MTS yang dimaksud. Persis setelah melewati MTS, belok kiri mengikuti jalan berupa cor-coran semen kurang lebih 500 meter, lalu setelah melewati kandang sapi, berhenti di rumah bapak Dukuh untuk meminta izin menitipkan kendaraan.

Sebagai catatan terakhir, saya memiliki tiga pengalaman berbeda saat hendak berpamitan dari rumah bapak Dukuh, tempat saya dan kawan-kawan menitipkan sepeda motor. Ketiga-tiganya, saya tidak pernah bertemu langsung dengan bapak dukuh, hanya ditemui oleh ibu-ibu. Untuk kunjungan yang pertama, saya langsung berpamitan singkat dan beranjak pergi. Untuk kunjungan kedua, saya berpamitan sambil bertanya (entah sengaja atau keceplosan) kepada sang ibu apakah menggunakan iuran parkir atau tidak. Ternyata ibu itu menjawab iya, seikhlasnya. Akhirnya saya pun menyodorkan uang 5 ribu rupiah untuk tiga motor. Adapun untuk kunjungan yang terakhir, saya berpamitan sambil menyodorkan uang 2 ribu rupiah (karena hanya satu motor), tetapi si ibu tersebut tidak mau menerimanya. Seingat saya, ibu yang terakhir ini berbeda dengan ibu pada saat kunjungan saya yang kedua. Kalau yang pertama, saya malah sudah lupa. Yang jelas, berwisata di tempat ini sangat murah meriah. Tidak ada pos penarikan retribusi, karena memang belum digarap pemerintah setempat. Walaupun belum tergarap, setidaknya selain murah, nuansa alaminya jadi tetap terjaga.

Jiakalalau anda hendak berkunjung, sebaiknya di saat-saat musim penghujan seperti ini saja, karena jika di musim kemarau kemungkinan anda akan mengalami kekeringan seperti dalam kunjungan saya yang kedua. Tetapi jangan berharap hujan, karena jalan menuju lokasi akan menjadi licin dan cukup berisiko. Bagi anda para petualang, atau penikmat wisata blusukan, tempat ini sangat saya rekomendasikan. Anda berminat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun