Mohon tunggu...
niftahkhairunnisahasibuan
niftahkhairunnisahasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konflik dan Harmoni: Pilar Kebudayaan dalam Masyarakat Aceh

11 Desember 2024   12:37 Diperbarui: 11 Desember 2024   12:37 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pakaian dan Pelaminan Pernikahan di Aceh
Pakaian dan Pelaminan Pernikahan di Aceh

Masyarakat Aceh dikenal sebagai salah satu komunitas di Indonesia yang kaya akan budaya dan tradisi. Pilar-pilar kebudayaan, seperti adat, agama, seni, dan kearifan lokal, menjadi landasan utama dalam kehidupan masyarakatnya. Namun, di balik kekayaan ini, terdapat dinamika yang sering kali menimbulkan konflik, terutama ketika modernitas dan tradisi saling bersinggungan. Salah satu kasus yang mencerminkan tantangan ini adalah perdebatan tentang penerapan hukum adat versus hukum nasional, serta keberlangsungan tradisi lokal di tengah perubahan zaman.

Aceh memiliki empat pilar kebudayaan utama: adat, agama, seni, dan bahasa. Adat Aceh dijaga melalui sistem hukum adat yang diwariskan turun-temurun. Agama Islam sebagai identitas utama masyarakat Aceh juga memainkan peran sentral, dengan penerapan Syariat Islam sebagai kebijakan resmi pemerintah daerah. Seni dan budaya Aceh, seperti tari Saman dan rapa’i, menjadi simbol kekayaan warisan leluhur yang telah diakui secara internasional. Bahasa Aceh juga menjadi perekat identitas kultural, meskipun tantangan dalam pelestariannya semakin besar.

Kasus Konflik Budaya: Hukum Adat vs Modernitas 

Salah satu kasus mencolok yang mencerminkan benturan kebudayaan di Aceh adalah konflik antara hukum adat dan hukum nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pelanggaran hukum adat, seperti perselisihan tanah dan pelanggaran norma sosial, memunculkan perdebatan tentang efektivitas hukum adat di era modern. Di sisi lain, beberapa kelompok masyarakat menilai bahwa penerapan hukum adat sering kali dianggap bias terhadap gender atau kurang relevan di tengah perubahan sosial.

Sebagai contoh, kasus sengketa tanah adat di pedalaman Aceh melibatkan masyarakat adat dan investor luar yang didukung pemerintah. Masyarakat adat bersikeras mempertahankan tanah leluhur berdasarkan tradisi, sementara investor dan pemerintah menggunakan hukum nasional sebagai dasar. Kasus ini menunjukkan bagaimana perbedaan pendekatan budaya dan hukum dapat memicu ketegangan sosial.

Tantangan dalam Pelestarian Tradisi 

Selain itu, tantangan globalisasi juga mengancam keberlangsungan tradisi Aceh. Generasi muda yang terpapar budaya modern sering kali dianggap mengabaikan tradisi lokal. Praktik adat seperti kenduri laot (ritual untuk menghormati laut) atau meugang (tradisi memasak daging menjelang Ramadan) mulai ditinggalkan di beberapa wilayah karena dianggap tidak relevan atau memakan biaya.

Namun, di sisi lain, ada juga upaya masyarakat dan pemerintah untuk melestarikan kebudayaan ini. Salah satunya adalah melalui pendidikan berbasis budaya lokal, festival kebudayaan, dan penguatan peran lembaga adat seperti Majelis Adat Aceh (MAA).

Harmoni sebagai Solusi
Untuk menjaga keharmonisan di tengah konflik budaya, diperlukan pendekatan yang inklusif. Sinergi antara hukum adat, Syariat Islam, dan hukum nasional harus terus dikembangkan dengan melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat adat, ulama, dan pemerintah. Selain itu, program edukasi untuk generasi muda tentang pentingnya kebudayaan lokal juga harus diperkuat agar identitas Aceh tetap terjaga.

Pada masa Sultan Malikussaleh (1297–1326), pendiri Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, pilar-pilar kebudayaan menunjukkan perkembangan yang signifikan. Islam menjadi landasan utama dalam pembentukan kebudayaan di Samudera Pasai. Sultan Malikussaleh berperan besar dalam menjadikan kerajaan ini sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Tradisi keagamaan seperti pendidikan agama, pelaksanaan hukum syariah, dan ibadah kolektif sangat menonjol. Hal ini membuat Samudera Pasai menjadi daya tarik bagi ulama dan pedagang Muslim dari Timur Tengah, India, dan wilayah lain.

Bahasa Melayu mengalami perkembangan pesat pada masa ini, dipengaruhi oleh bahasa Arab. Naskah-naskah keagamaan dan sastra mulai ditulis dalam aksara Jawi, yang memperkuat identitas budaya Melayu-Islam. Samudera Pasai menjadi tempat penyebaran karya-karya sastra Islami. 

Seni Islam mulai berkembang dengan dominasi motif geometris dan kaligrafi. Bangunan-bangunan keagamaan seperti masjid dan makam dihiasi dengan ornamen khas Islam. Makam Sultan Malikussaleh sendiri menunjukkan pengaruh budaya Persia dan India dengan ukiran yang indah.

Kesimpulan

Kasus-kasus kebudayaan di Aceh mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat tradisional di tengah modernitas. Meski demikian, pilar-pilar kebudayaan Aceh tetap menjadi fondasi yang kuat dalam menjaga identitas masyarakat. Dengan pendekatan yang inklusif dan adaptif, konflik budaya dapat dikelola menjadi harmoni yang memperkaya keberagaman Indonesia. Keseluruhan, masa pemerintahan Sultan Malikussaleh mencerminkan perpaduan harmonis antara Islam dan tradisi lokal, yang membentuk fondasi kebudayaan Melayu-Islam di Nusantara. Pilar-pilar kebudayaan ini kemudian menjadi inspirasi bagi kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun