"Bagaimana, Belati?"
"Terserah! Bagaimana dengan kamu, Arigono? Masih sanggup kau mendengar kata-kataku? Ok. Engkau masih bisa bekerja dengan cepat menanam ketiga mayat itu baik-baik. Ambillah cangkul itu. Keduklah tanah segera. Kuburkan mereka senyaman mungkin. Ah, bulan yang sebentar lagi bakalan angslup itu juga pasti merestui dan memandangimu dengan rasa puas. Barangkali, ia bakalan memberi ucapan selamat kepadamu. Kenapa engkau mesti terjebak pada rasa ragu? Ayo, aku senantiasa berada di belakangmu!"
Aih, ayam telah berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru berkokok, keadaan di sekitar tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara meruapkan kesegaran. Arigono terlambat. Ia belumlah membuat perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh Belati agar mau menikamkan diri ke dada Arigono yang kini telah disesaki gebalau bingung, ketololan, amarah, dan entah apa lagi, juga entah ditujukan buat siapa lagi. Arigono betul-betul lunglai, lenyap keberanian, tercipta goresan sejarah yang entah baru entah tidak.
Sekian!!!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H