Mohon tunggu...
Nini Afriyanti
Nini Afriyanti Mohon Tunggu... -

Dengan tulisan saya ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titisan Belati

25 Juni 2013   19:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:26 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


SELESAI sudah tugas Arigono. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Ganta, orang yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Birta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak berteriak, serta Biantinu yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang, Arigono sendiri tinggal bunuh diri!

"Selamat malam, Arigono. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga mayat itu baik-baik! Setelah itu, terserah!" ucap batin Biantinu, meronta.

"Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!" sisi kedirian batin Arigono yang lain menimpali.

Sesungguhnya Arigono memang tidak perlu menjumput beragam kebijaksanaan untuk sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang, tugas pembantaiannya telah usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam di dalam dirinya lunas terbalaskan.

"Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan untuk tidak membiarkan mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau bunuh! Kasihan tubuh mereka menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka menjadi makanan belatung-belatung menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!" Belati, yang telah menikam dada Ganta , Birta, dan Bantinu masing-masing sebanyak enam kali, yang sepertinya sangat tahu berontak batin Arigono, ikut angkat bicara.

Arigono menghela napas menggeliat.
"Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa membebaskan pikiranmu dari angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga mayat itu telah menjadi seonggok daging yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau harus mengubah pola pikir yang begitu konyol itu, Arigono," cecar sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk membunuh, tetapi Garta, Birta, dan Bantinu ternyata cukup memilih mati cuma dengan sebilahbelati.

"Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus mempersiapkan banyak keberanian agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap. Jangan seperti ketika kau akan membunuh! Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk menguburkan ketiga mayat itu, tak perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran badan, desah napas memburu, suara terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar berleleran. Semua itu harus diubah. Dengan segera!"

Arigono melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok ayam bakalan meletup kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan tapi pasti mulai membanjiri muka dan tangannya.

"Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya. Lakukan!"
Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Arigono pucat. Lunglai. Apa yang dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada kebijaksanaan lain menjelang pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja, penguburan dengan segala kelayakannya. Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat, dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir, soal keberanian itu memang sudah sedikit dimiliki Arigono. Tetapi, untuk dupa, bunga, dan juga sesobek kain pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain pembungkus mayat sungguh tak diperlukan lagi?

"Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali tanah yang cukup untuk mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa lagi, ha?! Ayo, berikan kelayakan kematian kepada Ganta, Berta, dan Bantinu. Setidaknya, agar ruh mereka bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat Arigono! Waktu tinggal sebentar! Masih ada tugas-tugas lain yang harus kau panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Arigono! Jangan main-main! Cepat! Ayo, dong. Cepat!!!"

Arigono diam. Terpaku. Ia sebenarnya memang tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera mengubur ketiga mayat itu serapi mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek anjing. Lantas, selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat mengenaskan dengan kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun kematian Ganta, Berta, dan Bantinu tidak sempurna seperti kematian bapaknya, tetapi setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang dimilikinya. Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang selalu membekas dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap semirip orang sableng.

Arigono memutuskan mengambil cangkul. Belati dan Pedang tertawa. Membuat Arigono kembali gundah, berada dalam sangkar kebingungan. Keringat berleleran lagi dari sekujur tubuhnya. Tangannya kembali gemetar. Dengan berteriak sekeras mungkin, Arigono membanting cangkul yang sudah tergenggam kencang di tangannya. Berarti keberaniannya sedikit hilang, bukan? Bahkan barangkali hilang sama sekali? Belati dan Pedang kebingungan. Keduanya pucat pasi. Motivasi apa yang mesti disuntikkan untuk membangkitkan kesadaran keberanian Arigono menjelang matahari terbit?

"Aku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Aku telah menuntaskan tugasku. Aku telah mencipta…. Uh…. Semestinya kau tak menghimpitku dengan hal-hal kecil yang justru akan menjebakku pada rasa bersalah semacam ini!" dengan suara penuh gemetar, seolah dicekam oleh ketakutan entah apa, Arigono angkat bicara.

"O…. Kau menganggapnya hal kecil, Arigono? Harusnya aku tadi menolak untuk kau gunakan membunuh jika kau menganggap penguburan adalah sebagai hal yang kecil, remeh. O…. aku bisa saja mogok untuk membunuh bila akhirnya kau malah bimbang sikap semacam ini! Kau tahu, Arigono. Aku bisa balik mengubah keberanianmu untuk membunuh. Aku bisa tiba-tiba saja menikam dadamu sendiri di depan Ganta, Barta, dan Bantinu. Bangsat! Anjing, kau!!!.

Arigono terpaku. Suasana di sekitar tempat pembantaian itu merayap senyap. Arigono berulang-kali blingsatan. Arigono terus-menerus mengusap keringat yang berleleran membasahi sekujur wajah. Dan detik terus saja berdetak. Sesekali ia garuk-garuk kepala sembari berjalan mondar-mandir. Belati dan Pedang cuma memandangi saja. Bisa jadi, Belati dan Pedang memang sudah kehabisan kata-kata untuk memotivasi Arigono. Sesekali dilihatnya mayat Ganta yang terbujur kaku, Berta yang terkapar melingkar bagai ular, dan Bantinue yang jika diperhatikan secara jeli ternyata malah tersenyum di puncak kenyerian kematiannya.

"Bagaimana, Arigono? Bagaimana? Aku masih sanggup membikin keberanian buatmu. Belum terlambat, dan tak akan pernah terlambat. Aku masih bersabar bersama Pedang.

"Bagaimana?" Arigono mengusik tanya kepada dirinya sendiri.
"Terserah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun